Kesulitan Siswa Membaca Permulaan

Kesulitan Siswa Membaca Permulaan

Membaca permulaan bertitik tolak dari siswa duduk di kelas I, karena mereka baru pertama kali duduk di bangku Sekolah Dasar. Kemudian tugas mengajarkan membaca kepada siswa ada pada guru. Dalam membaca permulaan diperlukan berbagai pendekatan membaca secara tepat, seperti dengan menggunakan metode eja, metode kata lembaga, metode global, serta metode Struktural Analitik dan Sintetik (SAS).

Pada tahap membaca permulaan siswa mulai diperkenalkan dengan berbagai simbol huruf, mulai dari simbol huruf /a/ sampai dengan /z/. Caranya bergantung teknik pendekatan yang digunakan guru, yaitu dapat dimulai dari pengolahan kata dari sebagian untuk seluruh atau dari seluruh kemudian dicerai menjadi bagian-bagian huruf yang terkecil. Mercer dalam Abdurrahman (1999:204) mengidentifikasikan bahwa ada 4 kelompok karakteristik siswa yang kurang mampu membaca permulaan, yaitu dilihat dari: (1) kebiasaan membaca, (2) kekeliruan mengenal kata, (3) kekeliruan pemahaman, dan (4) gejala-gejala serbaneka.

Siswa yang sulit membaca sering memperlihatkan kebiasaan dan tingkah laku yang tidak wajar. Gejala-gejala gerakannya penuh ketegangan seperti: (1) Mengernyitkan kening; (2) Gelisah; (3) Irama suara meninggi; (4) Menggigit bibir; (5) Adanya perasaan tidak aman yang ditandai dengan perilaku menolak untuk membaca, menangis, atau mencoba melawan guru.

Gejala-gejala tersebut muncul akibat dari kesulitan siswa dalam membaca. Indikator kesulitan siswa dalam membaca permulaan, antara lain: (1) siswa tidak mengenali huruf; (2) siswa sulit membedakan huruf; (3) siswa kurang yakin dengan huruf yang dibacanya itu benar; (4) siswa tidak mengetahui makna kata atau kalimat yang dibacanya.

Dari uraian di atasa dapat penulis simpulkan bahwa identifikasi kesulitan siswa dalam membaca permulaan dapat terlihat dari gejala-gejala perilaku dan gerakan-gerakan dalam menghadapi teks bacaan. Oleh karena itu untuk mengidentifikasikan kesulitan siswa ini, perlu suatu upaya dari guru kelas agar gejala-gejala tersebut dapat segera teratasi.

sumber : http://tarmizi.wordpress.com/
Penyebab Siswa Kurang Lancar Membaca

Penyebab Siswa Kurang Lancar Membaca

Secara umum sebab-sebab kurang lancarnya membaca dapat berasal dari beberapa faktor. Djamarah (2002:201) mengelompokkannya ke dalam dua kategori, yaitu: faktor intern dan faktor ekstern.

Faktor intern adalah faktor penyebab yang berasal dari dalam diri siswa itu sendiri. Penyebab yang muncul dari dalam diri antara lain bisa bersifat:

1. kognitif (ranah cipta), seperti: rendahnya kapasitas intelektual/ inteligensi siswa,
2. afektif (ranah rasa), seperti: labilnya emosi dan sikap, dan
3. psikomotor (ranah karsa), seperti: terganggunya alat-alat indra penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga)

Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar, yang meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa. Faktor lingkungan ini meliputi:

1. lingkungan keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubungan antara ayah dengan ibu, dan rendahnya tingkat kehidupan ekonomi keluarga.
2. lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum area) dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
3. lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk, seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualitas randah.

Kurangnya lancar membaca secara khusus dikatakan Abdurahman (1999:206) akan menjadi faktor penghambat dalam kegiatan membaca. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

1. Siswa kurang mengenal huruf, bunyi bahasa (fonetik), dan bentuk kalimat.
2. Siswa tidak memahami makna kata yang dibacanya
3. Adanya perbedaan dialek siswa dengan pengucapan bahasa Indonesia yang baku.
4. Siswa terlalu cepat membaca karena kemungkinan perasaannya tertekan.
5. Siswa bingung meletakkan posisi kata.
6. Siswa bingung dengan membaca huruf yang bunyinya sama, seperti: bunyi huruf /b/ dengan /p/
7. Siswa kurang mengerti tentang arti tanda baca, maka tanda baca tidak perlu diperhatikannya.
8. Terjadinya keragu-raguan dalam membaca.

sumber :
identifikasi ABK

identifikasi ABK

A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak dengan berkebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.
Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus, tetapi khusus untuk keperluan pendidikan inklusi, anak dengan kebutuhan khusus akan dikelompokkan menjadi 9 jenis. Berdasarkan berbagai studi, ke 9 jenis ini paling sering dijumpai di sekolah-sekolah reguler. Jika di luar 9 jenis tersebut masih dijumpai di sekolah, maka guru dapat bekerjasama dengan pihak lain yang relevan untuk menanganinya, seperti anak-anak autis, anak korban narkoba, anak yang memiliki penyakit kronis, dan lain-lain. Secara singkat masing-masing jenis kelainan dijelaskan sebagai berikut :

1. Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan
Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
2. Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
3. Tunadaksa/mengalami kelainan angota tubuh/gerakan
Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
4. Berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa
Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi), kreativitas, dan tanggungjawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
5. Tunagrahita
Tunagrahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus.
6. Lamban belajar (slow learner) :
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena factor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang di atas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan (berarti)
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi;
Anak yang mengalami gangguan komunikasi adalah anak yang mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara, yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang mengalami gangguan komunikasi ini tidak selalu disebabkan karena faktor ketunarunguan.
9. Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.
Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.
B. Karakteristik Anak dengan kebutuhan khusus
Setiap anak dengan kebutuhan khusus memiliki karakteristik (ciri-ciri) tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk keperluan identifikasi, di bawah ini akan disebutkan ciri-ciri yang menonjol dari masing-masing jenis anak dengan kebutuhan khusus.
1. Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan
a. Tidak mampu melihat
b. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter
c. Kerusakan nyata pada kedua bola mata,
d. Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan,
e. Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,
f. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering,
g. Peradangan hebat pada kedua bola mata,
h. Mata bergoyang terus.
Nilai standar : 4 (di luar a dan b), maksudnya, jika a dan b terpenuhi, maka tidak perlu menghitung urutan berikutnya.
2. Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran
a. Tidak mampu mendengar,
b. Terlambat perkembangan bahasa
c. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi
d. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara
e. Ucapan kata tidak jelas
f. Kualitas suara aneh/monoton,
g. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar
h. Banyak perhatian terhadap getaran,
i. Keluar cairan ‘nanah’ dari kedua telinga
Nilai Standar : 6 (di luar a), maksudnya jika a terpenuhi, maka berikutnya tidak perlu dihiung.
3. Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan
a. Anggauta gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh,
b. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali),
c. Terdapat bagian anggauta gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa,
d. Terdapat cacat pada alat gerak,
e. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
f. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal
g. Hiperaktif/tidak dapat tenang.
Nilai Standar : 5
4. Anak Berbakat/ memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa
a. Membaca pada usia lebih muda,
b. Membaca lebih cepat dan lebih banyak,
c. Memiliki perbendaharaan kata yang luas,
d. Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat,
e. Mempunayi minat yang luas, juga terhadap masalah orang dewasa,
f. Mempunyai inisiatif dan dapat berkeja sendiri,
g. Menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal,
h. Memberi jawaban-jawaban yang baik,
i. Dapat memberikan banyak gagasan
j. Luwes dalam berpikir
k. Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan,
l. Mempunyai pengamatan yang tajam,
m. Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati,
n. Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri,
o. Senang mencoba hal-hal baru,
p. Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi,
q. Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan-pemecahan masalah,
r. Cepat menangkap hubungan sebabakibat,
s. Berperilaku terarah pada tujuan,
t. Mempunyai daya imajinasi yang kuat,
u. Mempunyai banyak kegemaran (hobi),
v. Mempunyai daya ingat yang kuat,
w. Tidak cepat puas dengan prestasinya,
x. Peka (sensitif) serta menggunakan firasat (intuisi),
y. Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
Nilai Standar : 18
5. Tunagrahita
a. Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/ besar,
b. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
c. Perkembangan bicara/bahasa terlambat
d. Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong),
e. Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
f. Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler)
Nilai Standar : 6
6. Anak Lamban Belajar
a. Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah (kurang dari 6),
b. Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya,
c. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat,
d. Pernah tidak naik kelas.
Nilai Standar : 4
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
• Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
a. Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
b. Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
c. Kalau membaca sering banyak kesalahan
Nilai standarnya 3
• Anak yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)
a. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,
b. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,
c. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
d. Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,
e. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
Nilai standarnya 4.
• Anak yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)
a. Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
b. Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan,
c. Sering salah membilang dengan urut,
d. Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya,
e. Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
Nilai standarnya 4.
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi
a. Sulit menangkap isi pembicaraan orang lain,
b. Tidak lancar dalam berbicaraa/mengemukakan ide,
c. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
d. Kalau berbicara sering gagap/gugup,
e. Suaranya parau/aneh,
f. Tidak fasih mengucapkan kata-kata tertentu/celat/cadel,
g. Organ bicaranya tidak normal/sumbing.
Nilai standarnya 5.

9. Tunalaras (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku).
a. Bersikap membangkang,
b. Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah
c. Sering melakukan tindakan aggresif, merusak, mengganggu
d. Sering bertindak melanggar norma social/norma susila/hukum.
Nilai standarnya 4.

C. Identifikasi
Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau menemukenali. Dalam buku ini istilah identifkasi anak dengan kebutuhan khusus dimaksudkan merupakan suatu usaha seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social, emosional/tingkah laku) dalam pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal).
Setelah dilakukan identifikasi, kondisi seseorang dapat diketahui, apakah pertumbuhan/perkembangannya termasuk normal atau mengalami kelainan/penyimpangan.
Bila mengalami kelainan/penyimpangan, dapat diketahui pula apakah anak tergolong: (1) Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan; (2) Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran; (3) Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan); (4) Anak Berbakat/anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa; (5) Tunagrahita; (6) Anak lamban belajar; (7) Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik (disleksia, disgrafia, atau diskalkulia); (8) Anak yang mengalami gangguan komunikasi; dan (9) Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.
Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan. Maka biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuhnya, gurunya, dan pihak-pihak yang terkait dengannya. Sedangkan langkah berikutnya, yang sering disebut asesmen, bila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter, psikolog, neurolog, orthopedagog, therapis, dan lain-lain.
Dalam istilah sehari-hari, identifikasi sering disebut dengan istilah penjaringan, sedangkan asesmen disebut dengan istilah penyaringan.
D. Tujuan Identifikasi
Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal), yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya.
Dalam rangka pendidikan inklusi, kegiatan identifikasi anak dengan kebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan, yaitu: (1) penjaringan (screening), (2) pengalihtanganan (referal), (3) klasifikasi, (4) perencanaan pembelajaran, dan (5) pemantauan kemajuan belajar.

1. Penjaringan (screening)
Penjaringan dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (AI AKB) terlampir.
Pada tahap ini identifiksi berfungsi menandai anak-anak mana yang menunjukkan gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang mengalami kelainan/penyimpangan tertentu, sehingga tergolong anak dengan kebutuhan khusus.
Dengan AI ALB guru, orang tua, maupun tenaga professional terkait, dapat melakukan kegiatan ini secara baik dan hasilnya dapat digunakan untuk bahan penanganan lebih lanjut.

2. Pengalihtanganan (referral)
Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya anak-anak dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, ada anak yang tidak perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai.
Kedua, ada anak yang perlu dirujuk ke ahli lain terlebih dulu (referal) seperti psikolog, dokter, orthopedagog (ahli PLB), dan/atau therapis, baru kemudian ditangani oleh guru.
Proses perujukan anak oleh guru ke tenaga professional lain untuk membantu mengatasi masalah anak yang bersangkutan disebut proses pengalihtanganan (referral). Jika tenaga professional tersebut tidak tersedia dapat dimintakan bantuan ke tenaga lain yang ada seperti Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) atau Konselor.
3. Klasifikasi
Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang telah dirujuk ke tenaga professional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung dapat diberi pelayanan pendidikan khusus.Apabila berdasar pemeriksaan tenaga professional ditemukan masalah yang perlu penanganan lebih lanjut (misalnya pengobatan, therapy, latihan-latihan khusus, dan sebagainya) maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang bersangkutan. Jadi guru tidak mengobati dan/atau memberi therapy, melainkan sekedar meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak yang bersangkutan. Guru hanya akan membantu siswa dalam hal pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila tidak ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa anak yang bersangkutan memerlukan penanganan lebih lanjut, maka anak dapat dikembalikan ke kelas semula untuk mendapatkan pelayanan pendidikan khusus.
Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah mana anak dengan kebutuhan khusus yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana yang langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler.
4. Perencanaan pembelajaran
Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan penyusunan program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI). Dasarnya adalah hasil dari klasifikasi. Setiap jenis dan gradasi (tingkat kelainan) anak dengan kebutuhan khusus memerlukan program pembelajaran yang berbeda satu sama lain. Mengenai program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) akan dibahas secara khusus dalam buku yang lain tentang pembelajaran dalam pendidikan inklusi.
5. Pemantauan kemajuan belajar
Kemajuan belajar perlu dipantau untuk mengetahui apakah program pembelajaran khusus yang diberikan berhasil atau tidak. Apabila dalam kurun waktu tertentu anak tidak mengalami kemajuan yang signifikan (berarti), maka perlu ditinjau lagi beberapa aspek yang berkaitan. Misalnya apakah diagnosis yang kita buat tepat atau tidak, Program Pembelajaran Individual (PPI) yang kita susun sesuai atau tidak, bimbingan belajar khusus yang kita berikan sesuai atau tidak, dan seterusnya.
Sebaliknya, apabila dengan program khusus yang diberikan, anak mengalami kemajuan yang cukup signifikan maka program tersebut perlu diteruskan sambil memperbaiki/menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada.
Dengan lima tujuan khusus di atas, identifikasi perlu dilakukan secara terus menerus oleh guru, dan jika perlu dapat meminta bantuan dan/atau bekerja sama dengan tenaga professional terkait.

III. PELAKSANAAN IDENTIFIKASI
A. Sasaran Identifikasi
Secara umum sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus adalah seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar. Sedangkan secara khusus (operasional), sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus adalah:
1. Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
2. Anak yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
3. Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya merasa anaknya tergolong anak dengan kebutuhan khusus sedangkan lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya; sementara itu, semula SD terdekat belum/tidak mau menerimanya;
4. Anak yang drop-out Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah karena factor akademik.

B. Petugas Identifikasi
Untuk mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan, dapat dilakukan oleh:
1. Guru kelas;
2. Orang tua anak; dan/atau
3. Tenaga professional terkait.

C. Pelaksanaan Identifikasi
Ada beberapa langkah dalam rangka pelaksanaan identifikasi anak berkebutuhan khusus. Untuk identifikasi anak usia sekolah yang belum bersekolah atau drop out sekolah, maka sekolah yang bersangkutan perlu melakukan pendataan ke masyarakat sekitar kerjasama dengan Kepala Desa/Lurah, RT, RW setempat. Jika pendataan tersebut ditemukan anak berkelainan, maka proses berikutnya dapat dilakukan pembicaraan dengan orangtua, komite sekolah maupun perangkat desa setempat untuk mendapatkan tindak lanjutnya.
Untuk anak-aak yang sudah masuk dan menjadi siswa pada sekolah tertentu, identifikasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menghimpun data tentang anak
Pada tahap ini petugas (guru) menghimpun data kondisi seluruh siswa di kelas (berdasar gejala yang nampak pada siswa) dengan menggunakan Alat Identifikasi Anak dengan kebutuhan khusus (AI ALB). Lihat Format 3 terlampir.
2. Menganalisis data dan mengklasifikasi anak
Pada tahap ini tujuannya adalah untuk menemukan anak-anak yang tergolong anak dengan kebutuhan khusus (yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus). Buatlah daftar nama anak yaang diindikasikan berkelainan sesuai dengan ciri-ciri dan standar nilai yang telah ditetapkan. Jika ada anak yang memenuhi syarat untuk disebut atau berindikasi kelainan sesuai dengan ketentuan tersebut, maka dimasukkan ke dalam daftar nama-nama anak yang berindikasi kelainan sesuai dengan format khusus yang disediakan seperti terlampir (Lihat Format 4). Sedangkan untuk anak-anak yang tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda berkelainan, tidak perlu dimasukkan ke dalam daftar khusus tersebut.
3. Mengadakan pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah
Pada tahap ini, hasil analisis dan klasifikasi yang telah dibuat guru dilaporkan kepada Kepala Sekolah untuk mendapat saran-saran pemecahan atau tindak lanjutnya.
4. Menyelenggarakan pertemuan kasus (case conference)
Pada tahap ini, kegiatan dikoordinasikan oleh Kepala Sekolah setelah data anak dengan kebutuhan khusus terhimpun dari seluruh kelas. Kepala Sekolah dapat melibatkan: (1) Kepala Sekolah sendiri; (2) Dewan Guru; (3) orang tua/wali siswa; (4) tenaga professional terkait, jika tersedia dan dimungkinkan; (5) Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) jika tersedia dan memungkinkan.
Materi pertemuan kasus adalah membicarakan temuan dari masing-masing guru mengenai hasil identifikasi untuk mendapatkan tanggapan dan cara-cara pemecahan serta penanggulangannya.
5. Menyusun laporan hasil pertemuan kasus
Pada tahap ini, tanggapan dan cara-cara pemecahan masalah dan penanggulangannya perlu dirumuskan dalam laporan hasil pertemuan kasus. Format laporan hasil pertemuan kasus dapat menggunakan contoh seperti terlampir (lihat Format 5)

D. ALAT IDENTIFIKASI
Secara sederhana ada beberapa aspek informasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan identifikasi. Contoh alat identifikasi sederhana untuk membantu guru dan orang tua dalam rangka menemukenali anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus, antara lain sebagai berikut :
1. Form 1 : Informasi riwayat perkembangan anak
2. Form 2 : informasi/ data orangtua anak/wali siswa
3. Form 3 : informasi profil kelainan anak (AI-ALB)
Dari ketiga informasi tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut.
1. Informasi riwayat perkembangan anak
Informasi riwayat perkembangan anak adalah informasi mengenai keadaan anak sejak di dalam kandungan hingga tahun-tahun terakhir sebelum masuk SD/MI.. Informasi ini penting sebab dengan mengetahui latar belakang perkembangan anak, mungkin kita dapat menemukan sumber penyebab problema belajar.
Informasi mengenai perkembangan anak sangat penting bagi guru untuk mempertimbangkan kebijakan program pembelajaran yang akan diberikan kepada anak. Informasi perkembangan anak biasanya mencakup identitas anak, riwayat masa kehamilan dan kelahiran, perkembangan masa balita, perkembangan fisik, perkembangan sosial, dan perkembangan pendidikan.
Riwayat masa kehamilan dan kelahiran meliputi perkembangan masa kehamilan, penyakit yang diderita ibu, usia di dalam kandungan, proses kelahiran, tempat kelahiran, penolong persalinan, gangguan pada saat proses kelahiran, berat badan bayi, panjang badan bayi, dan tanda-tanda kelainan pada bayi.
Perkembangan masa balita sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai lama menyusu ibunya, usia akhir minum susu kaleng, kegiatan imunisasi, penimbangan, kualitas dan kuantitas makanan pada masa balita, kesulitan makan yang dialami, dan sebagainya.
Perkembangan fisik diperlukan terutama data mengenai kapan anak mulai dapat merangkak, berdiri, berjalan, naik sepeda roda tiga, naik sepeda roda dua, berbicara dengan kalimat lengkap, kesulitan gerakan yang dialami, status gizi balita, dan riwayat kesehatan.
Perkembangan sosial terutama berkaitan dengan hubungan dengan saudara, hubungan dengan teman, hubungan dengan orang tua dan guru, hobi anak, dan minat khusus. Perkembangan pendidikan meliputi informasi mengenai kapan masuk TK, berapa lama pendidikan di TK, kapan masuk SD, apa kesulitan selama di TK, apa kesulitan selama di SD, apakah pernah tinggal kelas, pelayanan khusus yang pernah diberikan, prestasi belajar tiap caturwulan atau semester, mata pelajaran yang dirasa paling sulit, dan mata pelajaran yang paling disenangi.
2. Data orang tua/wali siswa
Selain data mengenai anak, tidak kalah pentingnya adalah informasi mengenai keadaan orang tua/wali siswa yang bersangkutan. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keberhasilan belajar anak. Lingkungan keluarga dapat meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, status sosial ekonomi, sikap dan penerimaan orang tua terhadap anak, serta pola asuh yang diterapkan keluarga terhadap anak.
Data orang tua/wali siswa sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai identitas orang tua/wali, hubungan orang tua-anak, data sosial ekonomi orang tua, serta tanggungan dan tanggapan orang tua/ keluarga terhadap anak. Identitas orang tua harus lengkap, tidak hanya identitas ayah melainkan juga identitas ibu, misalnya umur, agama, status, pendidikan, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, dan tempat tinggal.
Hubungan orang tua-anak menggambarkan sejauh mana intensitas komunikasi antara orang tua dan anak. Misalnya apakah kedua orang tua satu rumah atau tidak, demikian juga dengan anak. Apakah diasuh salah satu orang tua, pembantu, atau keluarga lain. Semua kondisi tersebut mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar anak.
Mengenai data keadaan sosial ekonomi diperlukan agar sekolah dapat memperhitungkan kemampuan orang tua dalam pendidikan anaknya. Data sosial ekonomi dapat mencakup informasi mengenai jabatan formal maupun non formal ayah dan ibu, serta besarnya penghasilan rata-rata per bulan.
Sedangkan mengenai tanggapan orang tua yang perlu diungkapkan antara lain persepsi orang tua terhadap anak, kesulitan yang dirasakan orang tua terhadap anak yang bersangkutan, harapan orang tua dan bantuan yang diharapkan orang tua untuk anak yang bersangkutan.

3. Informasi mengenai profil kelainan anak (AI – ALB)
Informasi mengenai gangguan/kelainan anak sangat penting, sebab dari beberapa penelitian terbukti bahwa anak-anak yang prestasi belajarnya rendah cenderung memiliki gangguan/kelainan penyerta. Survei terhadap 696 siswa SD dari empat provinsi di Indonesia yang rata-rata nilai rapornya kurang dari 6,0 (enam, nol), ditemukan bahwa 71,8% mengalami disgrafia, 66,8% disleksia, 62,2% diskalkulia, juga 33% mengalami gangguan emosi dan perilaku, 31% gangguan komunikasi, 7,9% cacat / kelainan anggota tubuh, 6,6% gangguan gizi dan kesehatan, 6% gangguan penglihatan, dan 2% gangguan pendengaran (Balitbang, 1996).
Tanda-tanda kelainan atau gangguan khusus pada siswa (jika ada) perlu diketahui guru. Kadang-kadang adanya kelainan khusus pada diri anak, secara langsung atau tidak langsung, dapat menjadi salah satu faktor timbulnya problema belajar. Tentu saja hal ini sangat bergantung pada berat ringannya kelainan yang dialami serta sikap penerimaan anak terhadap kondisi tersebut.
Contoh format isian untuk identifikasi anak berkelainan yang dapat digunakan oleh sekolah.

E. TINDAK LANJUT KEGIATAN IDENTIFIKASI
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan identifikasi anak berkelainan untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai, maka dilakukan tindak lanjut sebagai berikut:
1. Perencaanaan pembelajaran dan pengorganisasian siswa
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Menetapkan bidang-bidang atau aspek problema belajar yang akan ditangani: Apakah seluruh mata pelajaran, sebagian mata pelajaran, atau hanya bagian tertentu dari suatu mata pelajaran.
b. Menetapkan pendekatan pembelajaran yang akan dipilih termasuk rencana pengorganisasian siswa, apakah bentuknya berupa pelajaran remedial, penambahan latihan-latihan di dalam kelas atau luar kelas, pendekatan kooperatif, atau kompetitif, dan lain- lain.
c. Menyusun program pembelajaran individual.
2. Pelaksanaan pembelajaran
Pada tahap ini guru melaksanakan program pembelajaran serta pengorganisasian siswa berkelainan dalam kelas reguler sesuai dengan rancangan yang telah disusun dan ditetapkan pada tahap sebelumnya. Sudah tentu pelaksanaan pembelajaran harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan dan kemampuan anak, tidak dapat dipaksakan sesuai dengan target yang akan dicapai oleh guru. Program tersebut bersifat fleksibel.
3. Pemantauan kemajuan belajar dan evaluasi
Untuk mengetahui keberhasilan guru dalam membantu mengatasi kesulitan belajar anak, perlu dilakukan pemantauan secara terus menerus terhadap kemajuan dan/atau bahkan kemunduran belajar anak. Jika anak mengalami kemajuan dalam belajar, pendekatan yang dipilih guru perlu terus dimantapkan, tetapi jika tidak terdapat kemajuan, perlu diadakan peninjauan kembali, baik mengenai isi dan pendekatan program, maupun motivasi anak yang bersangkutan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Dengan demikian diharapkan pada akhirnya semua problema belajar anak, secara bertahap dapat diperbaiki sehingga anak terhindar dari kemungkinan tidak naik kelas atau bahkan putus sekolah.
Tuna Grahita

Tuna Grahita

Tunagrahita
PERISTILAHAN DAN BATASAN-BATASAN TUNAGRAHITA
Peristilahan Tunagrahita(B3PTKSM, p. 19)
 Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation)
Tuna berarti merugi.
Grahita berarti pikiran.
 Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti terbelakang mental.
Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:
1. Lemah fikiran ( feeble-minded);
2. Terbelakang mental (Mentally Retarded);
3. Bodoh atau dungu (Idiot);
4. Pandir (Imbecile);
5. Tolol (moron);
6. Oligofrenia (Oligophrenia);
7. Mampu Didik (Educable);
8. Mampu Latih (Trainable);
9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat;
10. Mental Subnormal;
11. Defisit Mental;
12. Defisit Kognitif;
13. Cacat Mental;
14. Defisiensi Mental;
15. Gangguan Intelektual

APAKAH TUNAGRAHITA ITU?
American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20), mendefinisian Tunagrahita sebagai kelainan:
1. yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes;
2. yang muncul sebelum usia 16 tahun;
3. yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.
Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut:
1. Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku.
2. Kekurangan dalam perilaku adaptif.
3. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
Tuna daksa

Tuna daksa

Tunadaksa
I. SIAPAKAH ANAK TUNADAKSA
Istilah yang sering digunakan untuk menyebut anak tunadaksa, seperti cacat fisik, tubuh atau cacat orthopedi. Dalam bahasa asingpun sering kali dijumpai istilah crippled, physically handicapped, physically disabled dan lain sebagainya. Keragaman istilah yang dikemukakan untuk menyebutkan tunadaksa tergantung dari kesenangan atau alasan tertentu dari para ahli yang bersangkutan. Meskipun istilah yang dikemukakan berbeda-beda, namun secara material pada dasarnya memiliki makna yang sama.

A. Pengertian Anak Tunadaksa
Tunadakasa berasal dari kata “ Tuna “ yang berarti rugi, kurang dan “daksa“ berarti tubuh. Dalam banyak literitur cacat tubuh atau kerusakan tubuh tidak terlepas dari pembahasan tentang kesehatan sehingga sering dijumpai judul “Physical and Health Impairments“ (kerusakan atau gangguan fisik dan kesehatan). Hal ini disebabkan karena seringkali terdapat gangguan kesehatan. Sebagai contoh, otak adalah pusat kontrol seluruh tubuh manusia. Apabila ada sesuatu yang salah pada otak (luka atau infeksi), dapat mengakibatkan sesuatu pada fisik/tubuh, pada emosi atau terhadap fungsi-fungsi mental, luka yang terjadi pada bagian otak baik sebelum, pada saat, maupun sesudah kelahiran, menyebabkan retardasi dari mental (tunagrahita)

B. Klasifikasi Anak Tunadaksa
Pada dasarnya kelainan pada anak tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan pada sistem serebral (Cerebral System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka (Musculus Skeletal System).
1. Kelaian pada sistem serebral (cerebral system disorders).
Penggolongan anak tunadaksa kedalam kelainan sistem serebral (cerebral) didasarkan pada letak penyebab kelahiran yang terletak didalam sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada sistem syarap pusat mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial, karena otak dan sumsum tulang belakang sumsum merupakan pusat komputer dari aktivitas hidup manusia. Di dalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan bagian otak ini disebut Cerebral Palsy (CL).
Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan menurut : (a) derajat kecacatan (b) topograpi anggota badan yang cacat dan (c) Sisiologi kelainan geraknya.
a. Penggolongan menurut derajat kecacatan
Menurut derajat kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan atas : golongan ringan, golongan sedang, dan golongan berat.
1. Golongan ringan adalah : mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara tegas, dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup bersama-sama dengan anak normal lainnya, meskipun cacat tetapi tidak mengganggu kehidupan dan pendidikannya.
2. Golongan sedang : ialah mereka yang membutuhkan treatment/latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri, golongan ini memerlukan alat-lat khusus untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu penyangga kaki, kruk/tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya sendiri.
3. Golongan berat : anak cerebral palsy golongan ini yang tetap membutuhkan perawatan dalam ambulasi, bicara, dan menolong dirinya sendiri, mereka tidak dapat hidup mandiri ditengah-tengah masyarakat.
b. Penggolongan Menurut Topografi
Dilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh, Cerebrol Palsy dapat digolongkan menjadi 6 (enam) golongan yaitu:
1. Monoplegia, hanya satu anggota gerak yang lumpuh misal kaki kiri sedang kaki kanan dan kedua tangannya normal.
2. Hemiplegia, lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama, misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri.
3. Paraplegia, lumpuh pada kedua tungkai kakinya.
4. Diplegia, lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri (paraplegia)
5. Triplegia, tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan dan kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya lumpuh.
6. Quadriplegia, anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruhnya anggota geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya, quadriplegia disebutnya juga tetraplegia.
c. Penggolongan menurut Fisiologi, kelainan gerak dilihat dari segi letak kelainan di otak dan fungsi geraknya (motorik), anak Cerebral Palsy dibedakan atas:
1) Spastik
Type Spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau kekakuan pada sebagian ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul sewaktu akan digerakan sesuai dengan kehendak. Dalam keadaan ketergantungan emosional kekakuan atau kekejangan itu akan makin bertambah, sebaliknya dalam keadaan tenang, gejala itu menjadi berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis spastik ini memiliki tingkat kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Diantara mereka ada yang normal bahkan ada yang diatas normal.
2) Athetoid
Pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya dapat digerakan dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada sistem gerakan. Hampir semua gerakan terjadi diluar kontrol. Gerakan dimaksud adalah dengan tidak adanya kontrol dan koordinasi gerak.
3) Ataxia
Ciri khas tipe ini adalah seakan-akan kehilangan keseimbangan, kekakuan memang tidak tampak tetapi mengalami kekakuan pada waktu berdiri atau berjalan. Gangguan utama pada tipe ini terletak pada sistem koordinasi dan pusat keseimbangan pada otak. Akibatnya, anak tuna tipe ini mengalami gangguan dalam hal koordinasi ruang dan ukuran, sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari : pada saat makan mulut terkatup terlebih dahulu sebelum sendok berisi makanan sampai ujung mulut.
4) Tremor
Gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah senantiasa dijumpai adanya gerakan-gerakan kecil dan terus menerus berlangsung sehingga tampak seperti bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat terjadi pada kepala, mata, tangkai dan bibir.
5) Rigid
Pada tipe ini didapat kekakuan otot, tetapi tidak seperti pada tipe spastik, gerakannya tanpak tidak ada keluwesan, gerakan mekanik lebih tampak.
6) Tipe Campuran
Pada tipe ini seorang anak menunjukan dua jenis ataupun lebih gejala tuna CP sehingga akibatnya lebih berat bila dibandingkan dengan anak yang hanya memiliki satu jenis/tipe kecacatan.
2. Kelainan pada Sistem Otot dan Rangka (Musculus Scelatel System)
Penggolongan anak tunadaksa kedalam kelompok system otot dan rangka didasarkan pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan yaitu: kaki, tangan dan sendi, dan tulang belakang.
Jenis-jenis kelainan sistem otak dan rangka antara lain meliputi:
a. Poliomylitis
Penderita polio adalah mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil dan tenaganya melemah, peradangan akibat virus polio yang menyerang sumsum tulang belakang pada anak usia 2 (dua) tahun sampai 6 (enam) tahun.
b. Muscle Dystrophy
Anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot. Kelumpuhan pada penderita muscle dystrophy sifatnya progressif, semakin hari semakin parah. Kondisi kelumpuhannya bersifat simetris yaitu pada kedua tangan atau kedua kaki saja, atau kedua tangan dan kedua kakinya.
Penyebab terjadinya muscle distrophy belum diketahui secara pasti.
Tanda-tanda anak menderita muscle dystrophy baru kelihatan setelah anak berusia 3 (tiga) tahun melalui gejala yang tampak yaitu gerakan-gerakan anak lambat, semakin hari keadaannya semakin mundur jika berjalan sering terjatuh tanpa sebab terantuk benda, akhirnya anak tidak mampu berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi roda.
II. APA PENYEBAB TUNADAKSA
Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak dijaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, pada sistem musculus skeletal. Adanya keragaman jenis tunadaksa dan masing-masing kerusakan timbulnya berbeda-beda. Dilihat dari saat terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.
A. Sebab-sebab Sebelum Lahir (Fase Prenatal)
Pada fase, kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, kerusakan disebabkan oleh:
1. Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya, misalnya infeksi, sypilis, rubela, dan typhus abdominolis.
2. Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusat tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.
3. Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi sistem syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
4. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya ibu jatuh dan perutnya membentur yang cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi maka dapat merusak sistem syaraf pusat.
B. Sebab-sebab pada saat kelahiran (fase natal, peri natal)
Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antra lain:
1. Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen, kekurangan oksigen menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi, akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.
2. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.
3. Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsinya.
C. Sebab-sebab setelah Proses kelahiran (fase post natal)
Fase setelah kelahiran adalah masa mulai bayi dilahirkan sampai masa perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia 5 tahun.
Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
1. Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
2. Infeksi penyakit yang menyerang otak.
3. Anoxia/hipoxia.
III. KARAKTERISTIK ANAK TUNADAKSA.
Derajat keturunan akan mempengaruhi kemanpuan penyesuaian diri dengan lingkungan, kecenderungan untuk bersifat pasif. Demikianlah pada halnya dengan tingkah laku anak tunadaksa sangat dipengaruhi oleh jenis dan derajat keturunannya. Jenis kecacatan itu akan dapat menimbulkan perubahan tingkah laku sebagai kompensasi akan kekurangan atau kecacatan.
Ditinjau dari aspek psikologis, anak tunadaksa cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif, memisahkan diri dari llingkungan. Disamping karakteristik tersebut terdapat beberapa problema penyerta bagi anak tunadaksa antara lain:
• Kelainan perkembangan/intelektual
• Ganguan pendengaran.
• Gangguan penglihatan.
• Gangguan taktik dan kinestetik.
• Gangguan pesepsi
• Gangguan emosi.
IV. BAGAIMANA IMPLIKASI PENDIDIKAN ANAK TUNADAKSA
Dalam dunia Pendidikan pada prinsipnya guru mempunyai peranan ganda. Disatu pihak, guru berfungsi sebagai pengajar, pendidik, dan pelatih bagi anak didik. Dipihak lain, guru berfungsi sebagai pengganti orang tua murid di sekolah. Dengan demikian secara tidak langsung mereka dituntut untuk menjadi manusia serba bisa dan serba biasa, lebih-lebih bila dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan pada saat ini, yaitu bahwa orang tua dan masyarakat pada umumnya masih mempunyai anggapan yang keliru. Mereka berpendapat bahwa berhasil atau tidaknya pendidikan anak-anak mereka diserahkan sepenuhnya pada pihak sekolah, termasuk didalamnya para guru, tanpa ikut campur mereka.
Keadaan semacam ini lebih komplit lagi dalam dunia pendidikan luar biasa karena subjek didik yang dihadapi memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu, baik kemanpuan fisik, mental, emosi maupun dalam usaha penyesuaian diri dengan pihak luar atau lingkunagan sekitar. Oleh karena itu, tugas guru semakin berat yang dituntut keahlian serta keterampilan tertentu, baik dalam bidang metedologi yang bersifat khusus, maupun dalam bidang pelayanan terapi.
Pelayanan terapi yang diperlukan anak tunadaksa antara lain:
• Latihan wicara (speech Therapy)
• Fisioterapi
• Occupational therapy
• Hydro Therapy
Anak tunadaksa pada dasarnya sama dengan anak-anak normal lainnya. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari fisik dan psiko-sosial. Dari segi fisik, mereka dapat makan, minum, dan kebutuhan yang tidak dapat ditunda dalam beberapa menit yaitu bernafas. Sedangkan dari aspek psiko-sosial, mereka memerlukan rasa aman dalam bermobilisasi, perlu afiliasi, butuh kasih sayang dari orang lain, diterima dan perlu pendidikan. Adapun unsur kesamaan kebutuhan antara anak tunadaksa dan anak normal, karena pada dasarnya mereka memiliki fitrah yang sama sebagai manusia.
Pandangan yang melihat anak tunadaksa dan anak normal dari sudut kesamaan akan lebih banyak memberikan layanan optimal untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, ketimbang pandangan yang semata-mata mengekspos segi kekurangannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang sering melihat orang lain tentang kelemahannya, sehingga yang muncul adalah kritik atau cemoohan. Kiranya demikian, andaikata kita melihat anak tunadaksa semata-mata dari kecacatannya. Oleh karena itu, pandangan yang mendahulukan sifat positif pada anak tunadaksa perlu dimasyarakatkan supaya kesempatan perkembangan dirinya yang baik semakin lebar. Pendidikan yang juga merupakan kebutuhan anak tunadaksa perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan mengacu pada kemampuan masing-masing anak tunasaksa. Melalui pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan. Anak-anak tunadaksa diharapkan memiliki masa depan yang tidak selalu bergantung pada orang tua dan masyarakat.
V. BAGAIMANA MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN
Sebagaimana diketahui, bahwa pendidikan bagi anak tidak selalu harus berlangsung disuatu lembaga pendidikan khusus, sebab sebagian dari mereka (anak tunadaksa) pendidikannya dapat berlangsung di sekolah dan kelas reguler/sekolah umum. Hal ini disebabkan oleh faktor kemampuan dan ketidakmampuan anak tunadaksa dan lingkungannya. Evelyn Deno, (1970) dan Ronald L Taylor, (1984) menjelaskan system layanan pendidikan bagi anak luar biasa (termasuk anak tunadaksa) yang bervariasi, mulai dari sistem pendidikan di kelas dan sekolah reguler/umum sampai pendidikan yang diberikan disuatu rumah sakit, bahkan sampai pada bentuk layanan yang tidak memiliki makna edukasi sama sekali, yakni layanan yang diberikan kepada anak-anak tunadaksa dalam perawatan medis dan bantuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Dari kenyataan di lapangan bahwa anak tunadaksa memiliki problema penyerta. Problema penyerta ini berbeda-beda antara seorang anak tunadaksa yang satu dengan anak tunadaksa yang lainnya, tergantung dari pada penyebab ketunaannya, berat ringannya ketunaannya. Atas dasar kondisi anak tunadaksa tersebut, maka model pelayanan pendidikannya dibagi pada “Sekolah Khusus” dan “Sekolah Terpadu/Inklusi”.
A. Sekolah Khusus
Pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa di sekolah khusus ini diperuntukkan bagi anak yang mempunyai problema lebih berat, baik problema penyerta intelektualnya seperti retardasi mental maupun problema penyerta kesulitan lokomosi (gerakan) dan emosinya.
Di sekolah khusus ini pelayanan pendidikannya dibagi menjadi dua unit, yaitu unit sekolah khusus bagi anak tunadaksa ringan, dan unit sekolah khusus bagi anak tunadaksa sedang.
1. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Ringan (SLB-D)
Pelayanan pendidikan diunit tunadaksa ringan atau SLB-D diperlukan bagi anak tunadaksa yang tidak mempunyai problema penyerta retardasi mental, yaitu anak tunadaksa yang mempunyai intelektual rata-rata atau bahkan di atas rata-rata intelektual anak normal. Namun anak kelompok ini belum ditempatkan di sekolah terpadu/sekolah umum karena anak masih memerlukan terapi-terapi, seperti fisio terapi, speech therapy, occuppational therapy dan atau terapi yang lain. Dapat juga terjadi anak tunadaksa tidak ditempatkan di sekolah reguler karena derajad kecacatannya terlalu berat.
2. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Sedang (SLB-D1)
Pelayanan pendidikan diunit ini, diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang mempunyai problema seperti, emosi, persepsi atau campuran dari ketiganya disertai problema penyerta retardasi mental. Kelompok anak tunadaksa sedang ini mempunyai intelektual di bawah rata-rata anak normal.
B. Sekolah Terpadu/Inklusi
Bagi anak tunadaksa dengan problema penyerta relatif ringan, dan tidak disertai dengan problema penyerta retardasi mental akan sangat baik jika sedini mungkin pelayanan pendidikannya disatukan dengan anak-anak normal lainnya di sekolah reguler/sekolah umum. Karena anak tunadaksa tersebut sudah dapat mengatasi problema fisik maupun intelektual serta emosionalnya.
Namun walaupun kondisi penyerta anak tunadaksa cukup ringan, sekolah reguler yang ditunjuk untuk melayani pendidikannya perlu persiapan yang matang terlebih dahulu, baik persiapan sarana maupun prasarananya. Seperti persiapan aksesibilitas misalnya meminimalkan trap-trap atau tangga-tangga. Jika memungkinkan dibuatkan ramp-ramp untuk akses kursi roda, atau bagi anak yang khusus menggunakan alat bantu jalan lainnya seperti kruk atau wolker. Bentuk meja atau kursi belajar disesuaikan dengan kondisi anak. Hal demikian memerlukan persiapan yang lebih terencana, sehingga tidak menimbulkan problema tambahan bagi anak tunadaksa. Juga bentuk toilet, kloset harus dapat dipergunakan bagi anak yang menggunakan kursi roda. Disamping itu sistem guru kunjung dapat membantu memecahkan permasalahan yang mungkin timbul pada anak tunadaksa dikemudian hari.
VI. KETENAGAAN KHUSUS, KURIKULUM DAN ADMINISTRASI
A. Ketenagaan
1. Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan untuk Pendidikan Luar Biasa bagian D (tunadaksa) adalah guru yang secara khusus mempersiapkan diri untuk mengajar anak tunadaksa yang mempunyai berbagai masalah dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai dengan Tingkat Menengah. Disamping itu juga dapat merencanakan dan melaksanakan tugas pendidikan bagi anak yang sedang dalam perawatan karena operasi.
a. Tenaga Guru yang Diperlukan adalah :
1. Guru Kelas atau Guru Bidang Studi
2. Guru Keterampilan
3. Guru Agama
4. Guru Olahraga
b. Persyaratan Tenaga Guru/Pendidik adalah:
1. Tamatan minimal SGPLB, sarjana muda/DIII, sarjana pendidikan luar biasa dari IKIP/Universitas.
2. Untuk guru agama dari PGA, DIII, S1 IAIN atau sederajat.
3. Untuk guru olahraga dari DIII, S1 IKIP atau Universitas.
4. Untuk guru keterampilan DIII, S1 IKIP/Universitas
5. Untuk guru bidang studi minimal DIII, S1 IKIP/Universitas dari jurusan yang sesuai.
2. Tenaga Ahli
Tenaga Ahli yang diperlukan untuk:
a. Remedial Teaching
Guru yang mendapat tugas khusus untuk remedial atau bertugas memberi bimbingan dan penyuluhan.
b. Team Rehabilitasi
- Dokter umum
- Dokter anak
- Dokter anak pediatry
- Dokter orthopedi
- Psikolog
- Orthopedagogik
- Speech therapist
- Occupational therapist
- Pekerja sosial
3. Tenaga Administrasi
Tenaga administrasi untuk pendidikan luar biasa bagian D (tunadaksa) adalah :
a. Kepala Sekolah
b. Wakil Kepala Sekolah
c. Bendahara
d. Tenaga Usaha, yang dapat melaksanakan : agendaris, inventaris dan pengetikan
e. Pesuruh/pembantu sekolah
4. Penjaga Sekolah/SATPAM
Petugas yang diberi wewenang untuk menjaga keamanan/memelihara ketertiban sekolah.
B. Kurikulum
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum PLB tahun 1994, yang terdiri dari :
1. Landasan Program
2. Garis-garis Program Pengajaran
3. Pedoman Pelaksanaan
C. Administrasi
Administrasi yang digunakan adalah administrasi yang sesuai dengan pedoman administrasi yang telah dibukukan antara lain :
1. Administrasi Program Pengajaran
2. Administrasi Kepegawaian
3. Administrasi Keuangan
4. Administrasi Perlengkapan dan Barang.

Anak Berkebutuhan Khusus - Anak Tunarungu dan kebutuhan pembelajarannya

Anak Berkebutuhan Khusus - Anak Tunarungu dan kebutuhan pembelajarannya

Anak Tunarungu dan kebutuhan pembelajarannya
Tunarungu
Untuk mengidentifikasi anak tunarungu, seorang guru harus mengetahui gejala dan tanda tandanya, seperti:
1. Sering mengeluh tentang sakit telinganya.
2. Artikulasi bicaranya jelek.
3. Pertanyaan yang mudah kurang tepat jawabannya.
4. Pada situasi bicara biasa anak sering salah dalam merespon dan perhatiannya kurang.
5. Mendengar lebih jelas bila berhadapan muka dengan yang diajak bicara.
6. Sering meminta diulangi apa yang diucapkan pembicara.
7. Bila mendengarkan radio ia sering memutar volume sangat tinggi sehingga untuk ukuran orang normal sudah melebihi batas.

Kebutuhan pembelajaran Anak tunarungu
Saran untuk para guru dalam pembelajaran:
1. Dalam berbicara jangan membelakangi anak.
2. Anak hendaknya duduk dan berada ditengah paling depan kelas sehingga memiliki peluang untuk mudah membaca bibir guru.
3. Bila telinganya hanya satu yang tuli tempatkan anak sehingga telinga yang baik berada dekat dengan guru.
4. Perhatikan posture anak, sering anak meggelengkan kepala untuk mendengarkan.
5. Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru dan bicaralah dengan anak dengan posisi berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru sejara dengan kepala anak.
6. Guru bicara dengan volume biasa tetapi gerakan bibirnya harus jelas.

Pengajaran anak tunarungu mempertimbangkan:
1. Merehabilitasi pendengarannya.
2. Mengembangkan Komunikasinya.
3. Mengembangkan dan menata pendidikan