Pendidikan Bagi Anak Tuna Ganda

PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNAGANDA

A. PENDAHULUAN
Kenyataan dalam kehidupan di masyarakat membuktikan bahwa anak-anak yang berkelainan tidak selalu mempunyai perumusan kategori-kategori yang tepat. Mereka dengan gangguan pendengaran, pengelihatan, mental, dan sosial prilaku yang dialami menyebabkan masing-masing memiliki perbedaan-perbedaan individual yang memerlukan layanan kebutuhan khusus yang spesifik pula. Layanan tersebut menjadi sangat esensial terutama bagi anak-anak yang memiliki jenis kelainan kategori berat (yang memiliki lebih dari satu jenis kelainan). Anak-anak semacam ini atau disebut tunaganda lebih heterogen dibandingkan dengan anak-anak yang hanya mengalami satu jenis kelainan dalam hal layanan kebutuhan khusus yang dibutuhkan, termasuk pendidikannya.
Booklet ini disusun dalam rangka untuk memberikan informasi yang sejelas-jelasnya kepada para pembina dan pengelola pendidikan, pejabat dan tokoh masyarakat terkait, para orang tua dan anak tentang pengertian, klasifikasi, pravalensi, dan peyebab tunaganda. Dengan adanya persamaan pemahaman dan persepsi tersebut, maka pembinaan pendidikan luar biasa bagi anak-anak tunaganda akan mendapatkan dukungan dan kepedulian dari berbagai elemen sehingga visi “mewujudkan manusia yang mandiri” akan segera terwujud.

B. PENGERTIAN
Departemen Pendidikan Amerika Serikat memberikan pengertian anak-anak yang tergolong tunaganda adalah anak-anak yang karena mempunyai masalah-masalah jasmani, mental atau emosional yang sangat berat atau kombinasi dari beberapa masalah tersebut, sehingga agar potensi mereka dapat berkembang secara maksimal memerlukan pelayanan pendidikan sosial, psikology dan medis yang melebihi pelayanan program pendidikan luar biasa secara umum, (Heward dan Orlansky,1988, p:370). Sementara itu, beberapa ahli pendidikan luar biasa menggunakan pendekatan perkembangan anak untuk memberikan pengertian tentang anak tunaganda. Seorang individu yang berusia 21 tahun tetapi tingkat perkembangan fungsi-fungsinya hanya setengah atau kurang dari tingkat perkembangan yang seharusnya dicapai berdasarkan usia kronologis, dianggap sebagai anak yang mengalami tunaganda. Walaupun, ada kelompok lain yang beranggapan bahwa pendekatan perkembangan tersebut kurang relevan terhadap populasi ini. Sebagai penggantinya, mereka memberikan penekanan bahwa seorang anak yang tergolong tunaganda adalah anak yang memerlukan latihan dalam hal keterampilan-ketrampilan dasar, misalnya dalam bergerak dari satu tempat ke tempat lain tanpa bantuan, dalam berkomunikasi dengan orang lain, dalam mengontrol fungsi-fungsi perut dan kandungan kemih dan makan sendiri (Sontag, Smith dan Sailor seperti di kutip oleh Heward dan Orlansky,1988). Sebagian besar anak-anak reguler biasanya dapat melakukan keterampilan-keterampilan dasar pada usia 5 tahun, sementara itu anak-anak tunaganda perlu latihan-latihan khusus untuk dapat melakukannya. Mereka ini tidak dapat diberikan pengajaran akademik seperti halnya anak-anak regular pada umumnya.
Oleh karena beratnya dan banyaknya kelainan yang dimiliki oleh anak-anak tunaganda, maka tidak ada perilaku-perilaku khusus yang berlaku umum bagi semua anak yang tergolong tunaganda. Setiap anak mempunyai perbedaan dalam hal fisik, intelektual dan ciri-ciri sosial, serta masing-masing hidup dalam lingkungannya sendiri yang berbeda. Perilaku-perilaku yang sering tampak adalah sebagai berikut:
1. Kurang komunikasi atau sama sekali tidak dapat berkomunikasi. Hampir semua anak yang tergolong tunaganda memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam mengekspresikan atau mengerti orang lain. Banyak diantara mereka yang tidak dapat bicara atau apabila ada komunikasi mereka tidak dapat memberikan respon. Ini menyebabkan pelayanan pendidikan atau interaksi sosial menjadi sulit sekali. Anak-anak semacam ini tidak dapat melakukan tugas walaupun tugas yang paling sederhana sekalipun.
2. Perkembangan motorik dan fisik yang terbelakang. Sebagian besar anak tunaganda mempunyai keterbatasan dalam mobilitas fisik. Banyak yang tidak dapat berjalan, bahkan untuk duduk dengan sendiri . Mereka berpenampilan lamban dalam meraih benda-benda atau dalam mempertahankan kepalanya agar tetap tegak dan seringkali mereka hanya berbaring di atas tempat tidur.
3. Mereka seringkali mempunyai perilaku yang aneh dan tidak bertujuan, misalnya menggosok-gosokkan jarinya ke wajah, melukai diri (misalnya membenturkan kepala, mencabuti rambut dan sebagainya) dan karena seringnya, kejadian ini sangat mengganggu pengajaran atau interaksi sosialnya.
4. Kurang dalam ketrampilan menolong diri sendiri. Sering kali mereka tidak mampu mengurus kebutuhan dasar mereka sendiri seperti makan, berpakaian, mengontrol dalam hal buang air kecil, dan kebersihan diri sendiri. Ini memerlukan latihan-latihan khusus dalam mempelajari keterampilan-keterampilan dasar ini.
5. Jarang berperilaku dan berinteraksi yang sifatnya konstruktif. Secara umum, anak-anak yang sehat dan anak-anak yang tergolong cacat senang akan bermain dengan anak-anak yang lain, berinteraksi dengan orang dewasa, dan ada usaha mencari informasi mengenai dunia sekitarnya. Namun demikian, anak-anak yang tergolong tunaganda tampaknya sangat jauh dari dunia kenyataan dan tidak memperlihatkan emosi-emosi manusia yang normal. Sangat sukar untuk menimbulkan perhatian pada anak-anak yang tergolong tunaganda atau untuk menimbulkan respon-respon yang dapat diobservasi (Heward & Orlansky, 1988,p:372 ).
Di balik keterbatasan-keterbatasan di atas, sebenarnya anak-anak tunaganda juga mempunyai ciri-ciri positif yang cukup banyak, seperti kondisi yang ramah dan hangat, keras hati, ketetapan hati, rasa humor, dan suka bergaul. Banyak guru yang memperoleh kepuasan dalam memberikan pelayanan kepada anak-anak.

C. KLASIFIKASI
Dari sekian banyak kemungkinan kombinasi kelainan, ada beberapa kombinasi yang paling sering muncul dibandingkan kombinasi kelainan-kelainan yang lainnya, yaitu:
1. Kelainan Utama Adalah Tunagrahita
 Tunagrahita dan cerbral palsy
Ada suatu kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa anak-anak cerbral palsy (CP) adalah anak-anak tunagrahita. Apapun penyebabnya, baik karena genetik atau factor lingkungan sehingga terjadi adanya kerusakan pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan rusaknya cerbral cortex sehingga menimbulkan tunagrahita. Namun demikian, hubungan tersebut tidak berlaku secara umum. Sebagai contoh, hasil-hasil penelitian yang dilakukan Holdman dan Freedheim terhadap seribu kasus klinik mediknya, hanya dijumpai 59% dari anak-anak CP yang dites adalah anak-anak tunagrahita (Kirk dan Gallagher, 1988). Hopkins, Bice, dan Colton mendapatkan bahwa 49 % dari 992 anak CP yang dites adalah anak tunagrahita. Sementara itu, Stephen dan Hawks memperkirakan bahwa antara 40-60% dari anak CP adalah anak tunagrahita.
Melakukan diagnosis untuk menentukan apakah seorang anak adalah tunagrahita diantara anak-anak CP dengan tes inteligensi yang baku adalah sangat sulit untuk dipercaya. Seringkali kurangnya kemampuan dalam berbicara dan lemahnya kontrol terhadap gerak-gerak spastik pada anak-anak CP memberikan kesan bahwa anak-anak tersebut adalah anak-anak tunagrahita. Pada kenyataannya, sebenarnya hanya sedikit terdapat hubungan langsung antara tingkat gangguan fisik dengan inteligensi pada anak-anak CP. Seorang anak yang spastik berat mungkin secara intelektual dapat digolongkan sebagai gifted dan anak lainnya yang mempunyai gangguan fisik ringan dapat digolongkan tunagrahita yang berat. Assesmen mengenai ketunagrahitaan pada anak-anak CP adalah benar-benar sulit dan seringkali akan memakan waktu berbulan-bulan untuk melaksanakannya. Apabila setelah melalui pengajaran yang tepat beberapa waktu lamanya seorang anak relatif tidak memperoleh kemajuan apa-apa, maka diagnosis yang mengatakan bahwa anak tersebut mengalami tunagrahita adalah tepat.
 Kombinasi Tunagrahita dan Tunarungu
Anak-anak tunarungu mengalami berbagai masalah dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Sementara itu, anak-anak tunagrahita akan mengalami kelambanan dan keterlambatan dalam belajar. Pada anak tunaganda, bias saja terjadi anak tersebut mengalami tunagrahita yang sekaligus tunarungu. Anak-anak yang demikian, mengalami gangguan pendengaran, memiliki fungsi intelektual di bawah rata-rata dan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. Dengan demikian, adanya kombinasi dari ketiga keadaan tersebut menyebabkan anak-anak tunaganda memerlukan pelayanan yang lebih banyak daripada anak-anak yang mengalami tunagrahita atau tunarungu saja. Diperkirakan bahwa antara 10%-15% anak di sekolah tunagrahita adalah anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran dan dalam persentase yang sama anak-anak di sekolah tunarungu adalah anak-anak tunagrahita.
 Kombinasi Tunagrahita dan Masalah-masalah Perilaku
Telah diketahui bahwa terdapat hubungan antara tunagrahita dengan gangguan emosional. Anak-anak yang mengalami tunagrahita berat ada kemungkinan besar juga memiliki gangguan emosional. Yang tidak diketahui adalah banyaknya anak secara pasti yang menampakkan kedua kelainan tersebut bersama-sama. Ada gejala-gejala bahwa tunagrahita yang cukup kuat dan nyata yang menyertai atau bersama-sama dengan gangguan emosional cenderung untuk diabaikan atau dikesampingkan. Ini berarti bahwa bagi anak-anak retardasi mental, mereka tidak disarankan untuk memperoleh pelayanan psikoterapi ataupun terapi perilaku, padahal perilaku-perilaku yang aneh pada anak adalah merupakan gejala tunagrahita berat atau yang sangat berat .

2. Kelainan Utama Adalah Gangguan Perilaku
 Autisme
Autisme adalah suatu istilah atau nama yang digunakan untuk menggambarkan perilaku yang aneh atau ganjil dan kelambatan perkembangan sosial dan komunikasi yang berat.(Krik&Gallagher,1986:p 427). Anak yang mengalami autisme sulit melakukan kontak mata dengan orang lain sehingga memberikan kesan tidak peduli terhadap orang di sekitarnya. Kelainan utama pada anak autistik adalah dalam hal komunikasi verbal. Mereka sering mengulang kata-kata (echolalia) dan melakukan perbuatan yang selalu sama, rutin dan dalam pola yang tertentu dan teratur. Apabila kegiatannya tersebut mengalami hambatan atau perubahan, maka mereka akan berperilaku aneh serta berteriak-teriak, berjalan mondar-mandir sambil menendang atau membenturkan kepalanya ke tembok. Kondisi ini juga sering terjadi apabila anak dalam keadaan tegang, senang atau berada di tempat yang asing.(Rini Puspitaningrum,1992:p.4-7).
 Kombinasi Gangguan Perilaku dan Pendengaran
Memperkirakan secara pasti tentang berapa jumlah anak yang mempunyai gangguan emosional perilaku dan yang sekaligus gangguan pendengaran adalah hal yang sangat sulit. Hal ini sangat bergantung pada kriteria yang digunakan untuk menentukan seberapa besar gangguan emosional dan tingkat keparahan hilangnya pendengaran. Althshuler memperkirakan bahwa antara satu sampai dengan tiga dari 10 anak tunarungu anak anak yang memiliki masalah emosional (Kirk dan Gallagher,1986:p.427).
Para ahli yang konsisten memberikan pelayanan kepada anak-anak yang mempunyai gangguan emosional dan yang sekaligus tuli, cenderung memakai klasifikasi kondisi anak-anak itu sebagai kondisi yang ringan, sedang dan berat. Anak-anak yang termasuk kondisi berat telah mereka pindahkan dari sekolah-sekolah untuk anak tunarungu karena guru-guru mereka merasa`tidak mampu menangani perilakunya yang aneh.
3. Kelainan Utama Tunarungu dan Tunanetra
Apabila satu dari dua lelainan utama itu yang menyebabkan anak mengalami gangguan, maka dalam memberikan pelayanan pendidikan, indra yang masih baik kondisinya memperoleh perhatian utama untuk difungsikan. Bagi anak yang tuli, maka saluran penglihatan digunakan untuk membentuk sistem komunikasi berdasarkan isyarat, ejaan jari dan membaca bibir. Bagi anak yang mengalami gangguan penglihatan (buta), maka program pendidikan dikompensasikan melalui alat pendengaran. Akan tetapi apa yang dilakukan apabila kedua alat (pendengaran dan pengilhatan) tersebut rusak? Bagaimana mengajarkan bahasa dan bicara kepada anak yang tidak dapat mendengar dan melihat?
Anak buta-tuli adalah seorang anak yang memiliki gangguan penglihatan dan pendengaran, suatu gabungan yang menyebabkan problema komunikasi dan problema perkembangan pendidikan lainnya yang berat sehingga tidak dapat diberikan program pelayanan pendidikan baik di sekolah yang melayani untuk anak-anak tuli maupun di sekolah yang melayani untuk anak-anak buta. Namun demikian, bukan berarti anak buta-tuli harus dirampas haknya untuk mendapatkan layan pendidikan. Dengan penangan yang baik dan tepat, anak-anak buta-tuli masih bisa dididik dan berhasil. Contoh orang semacam ini adalah Helen Keller. Atas bantuan Anne Sulivan sebagai tutornya yang selalu mendampinginya dengan penuh ketekunan, Keller belajar bicara dan berkomunikasi serta memperoleh prestasi akademik yang tinggi.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar anak yang tergolong tunaganda memiliki lebih dari satu ketidakmampuan. Walaupun dengan metode diagnosis yang paling baik sekalipun, masih sering mengalami kesulitan untuk mengidentifikasikan sifat dan beratnya ketunagandaan yang dialami anak dan menentukan bagaimana kombinasi ketidakmampuan itu berpengaruh terhadap perilaku anak. Misalnya, banyak anak yang tergolong tunaganda tidak merespon terhadap rangsangan pada saat diobservasi, seperti terhadap cahaya yang terang atau terhadap benda-benda yang berat. Sulit ditentukan apakah anak tersebut mempunyai gangguan penglihatan ataukah ia dapat melihat tetapi tidak mampu merespon karena adanya kerusakan pada otak? Seringkali pertanyaan semacam ini timbul dalam merencanakan program pendidikan bagi anak-anak yang tergolong tunaganda dalam semua tipe. Cara apakah yang paling sesuai untuk mengajar bahasa kepada anak tunarungu yang disertai cacat berat lain atau bagaimanakah membantu anak yang tidak dapat berjalan dan tidak dapat belajar menampilkan perilaku sosial untuk mengajarkan bagaimana berpenampilan yang sesuai di depan umum adalah segudang problema yang menantang untuk dicarikan solusinya.
Anak-anak yang tergolong tunaganda seringkali memiliki kombinasi-kombinasi ketidakmampuan yang tampak nyata maupun yang tidak begitu nyata dan keduanya memerlukan penambahan-penambahan atau penyesuaian-penyesuaian khusus dalam pendidikan mereka. Melalui program pengajaran yang sesuaiakan memungkinkan mereka dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang berguna, bermakna, dan memuaskan pribadinya.

D. PREVALENSI
Oleh karena belum ada definisi yang dapat diterima secara umum tentang tunaganda atau cacat berat, maka tidak ada gambaran yang akurat dan seragam tentang prevalensi dari kondisi tersebut. Di Amerika Serikat, diperkirakan antara 0,05 % sampai dengan 0,1% dari populasi usia sebaya. Berdasarkan asumsi bahwa anak tunaganda di Indonesia prosentasenya sama dengan di Amerika Serikat, maka jumlah anak tunaganda usia sekolah adalah sebanyak 30.000 s.d. 60.000 anak (asumsi jumlah anak usia sekolah 60.000.000 anak).

E. PENYEBAB
Tunaganda atau cacat berat dapat disebabkan oleh kondisi yang sangat bervariasi dan yang paling banyak adalah oleh sebab biologis yang dapat terjadi sebelum, selama atau sesudah kelahiran. Pada sebagian besar kasus adalah karena kerusakan pada otak. Anak yang tergolong tunaganda lahir dengan ketidaknormalan kromosom terjadi seperti pada down syndrome atau lahir dengan kelainan genetik atau metabolik yang dapat menyebabkan masalah-masalah berat dalam perkembangan fisik atau intelektual anak, komplikasi-komplikasi pada masa anak dalam kandungan termasuk kelahiran permatur, ketidakcocokan Rh dan infeksi yang diderita oleh ibu. Seorang ibu yang bergizi rendah pada saat mengandung atau terlalu banyak obat-obatan atau alkohol dapat pula menyebabkan anak menderita cacat berat. Pada umumnya, anak-anak yang tergolong tunaganda sering dapat diidentifikasikan pada saat atau tidak lama setelah kelahiran.
Disamping itu, proses kelahiran itu sendiri juga mengandung bahaya-bahaya tertentu dan terdapat komplikasi-komplikasi. Cacat berat dapat disebabkan misalnya, bayi yang terserang kekurangan oksigen dan luka pada otak dalam proses kelahiran, dalam perkembangan hidupnya mengalami cacat berat karena pada kepalanya mengalami kecelakaan kendaraan, jatuh, pukulan atau siksaan, pemberian nutrisi yang salah, anak yang tidak dirawat dengan baik, keracunan atau karena penyakit tertentu yang dapat berpengaruh terhadap otak (seperti meningitas dan encephalitis ). Namun demikian, walaupun secara medik telah ratusan yang dapat diidentifikasi sebab-sebab kecacatan mereka, ada banyak hal atau kasus yang tidak dapat ditentukan secara jelas sebab-sebabnya. Sedangkan yang berkaitan dengan autisme, secara khusus belum diketahui penyebabnya, tetapi dimungkinkan penyebabnya adalah majemuk, ketidaknormalan otak atau ketidakseimbangan biokemik yang dapat merusak persepsi dan pengertian.

F. RANGKUMAN
1. Meskipun memeliki berbagai macam keterbatasan-keterbatasan dalam mengekspresikan kemampuannya, anak-anak tunaganda tetap dapat diberikan proses belajar mengajar sehingga mereka tetap tidak kehilangan haknya untuk mendapatkan layanan pendidikan seiring dengan program “education for all”.
2. Sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang definisi anak-anak yang tergolong tunaganda. Namun demikian sudah ada kesepahaman bahwa anak-anak yang tergolong tunaganda membutuhkan latihan dalam menolong diri sendiri, gerak, perseptual, sosial, kognitif dan ketrampilan-ketrampilan berkomunikasi.
3. Tes inteligensi tradisional kurang manfaatnya untuk mengukur anak tunaganda. Untuk itu, para guru perlu mengamati kemampuan-kemampuan yang unik serta keterbatasan-keterbatasan yang diperlihatkan oleh anak-anak tunaganda. Walaupun setiap anak memperlihatkan karakteristik individual yang berkaitan dengan fisik, intelektual dan social, anak-anak tunaganda seringkali memperlihatkan perilaku seperti: sedikit atau tidak dapat berkomunikasi, terbelakang dalam perkembangan fisik dan motoriknya, sering berprilaku yang tidak tepat, kurang dalam ketrampilan menolong diri sendiri dan jarang berprilaku atau berinteraksi yang sifatnya konstrutif.
4. Anak-anak tunaganda hampir selalu mengalami ketidakmampuan majemuk yang mencangkup masalah-masalah fisik. Mereka biasanya berprilaku beda secara mencolok dengan perilaku anak-anak normal atau anak-anak tuna lainnya.
5. Walaupun terdapat banyak kemungkinan kombinasi kecacatan yang berbeda-beda, kondisi-kondisi kecacatan majemuk sudah dikenal oleh para pendidik, seperti kombinasi antara tunagrahita dengan gangguan pendengaran, antara tunagrahita dengan masalah perilaku yang berat, autisme, antara gangguan perilaku dengan gangguan pendengaran dan kombinasi antara ketulian dan kebutaan.
6. Oleh karena definisi tunaganda yang belum jelas, sampai saat ini prevalensinya tidak dapat tepat. Namun demikian, yang jelas populasinya sangat sedikit.

0 Comments

Post a Comment