Contoh Opini Kabar Priangan - Gawai dan Budaya Belajar Siswa

Opini Kabar Priangan
Opini Kabar Priangan (Jum'at, 11/03/2016)
Penulis : Dede Taufik, S.Pd.
Budaya belajar adalah serangkaian kegiatan dalam melaksanakan tugas belajar yang dilakukan. Kita menjadikan belajar sebagai kebiasaan, dimana jika kebiasaan itu tidak dilakukan maka melanggar suatu nilai atau patokan yang ada (Rusyan, 2007 : 12).

Selain itu, dikatakan oleh Sukmadinata jika lingkungan sekolah memegang peranan penting bagi perkembangan belajar siswa. Sementara di lingkungan rumah, harus memiliki iklim psikologis sehat yang diwarnai oleh rasa sayang, saling percaya, keterbukaan, keakraban, dan saling memiliki diantara anggota keluarganya.

Pada dasarnya, budaya belajar tidak tumbuh secara sendirinya. Namun dibutuhkan suatu upaya untuk menumbuhkannya, seperti pemberian motivasi dan pendampingan. Tak dimungkiri, jika penumbuhan budaya belajar memiliki banyak tantangan dan hambatan. Apalagi di era modern seperti sekarang ini, banyak sekali faktor yang mampu menggoda para siswa sehingga tidak memiliki budaya untuk belajar. Beberapa faktor itu diantaranya adalah tayangan televisi, komunitas nongkrong, termasuk juga keberadaan ‘gawai’.

Dewasa ini, begitu dekatnya manusia dengan yang namanya gawai. Kedekatannya itu bagaikan dua sisi yang tak bisa terpisahkan. Penggunanya pun mencakup semua kalangan, baik orangtua, remaja, dan juga termasuk siswa dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga mahasiswa. Tentunya hal itu akan berdampak terhadap budaya belajar siswa yang harus diwaspadai.

Diakui atau tidak, semenjak gawai telah berhasil mencuri hati para siswa. Waktu untuk belajar semakin berkurang karena terbagi dengan waktu untuk bermain bersama gawai. Bahkan tak dimungkiri lagi, jika waktu bermain bersama gawai lebih banyak ketimbang waktu untuk belajar. Nampaknya, penggunaan gawai oleh siswa tersebut harus mendapatkan perhatian serius. Bukan untuk membatasi hak asasi manusia (HAM) seseorang, melainkan untuk menjaga siswa dari hal-hal yang tidak diinginkan. Pasalnya, siswa merupakan aset masa depan yang tugas utamanya adalah belajar.

Jika diibaratkan, gawai ini seperti pisau yang bisa bermanfaat dan juga bisa berbahaya bagi penggunanya. Manfaatnya bisa digunakan sebagai alat komunikasi sekaligus juga sebagai sumber belajar. Sementara bahayanya, informasi yang diperoleh dari internet bukan hanya yang positif saja. Tak sedikit situs-situs yang tak layak untuk dikonsumsi oleh siswa, baik dari website atau blog maupun media sosial.

Apalagi, baru-baru ini sedang hangatnya isu tentang Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau Transeksual (LGBT). Dimana telah ditemukan ada salah satu situs media sosial yang secara terang-terangan mempublikasikan terkait perilaku LGBT tersebut. Sasaran penyebaran informasinya juga beragam, bahkan tak menutup kemungkinan jika para siswa pun menjadi sasaran dari kelompok tersebut.

Dengan begitu, menjadi keharusan bagi kita semua untuk waspada terhadap dampak yang akan disebabkan oleh gawai karena mengakses informasi yang menyimpang. Lebih tepatnya adalah menerapkan sebuah pepatah yang sudah tak asing lagi, yaitu “Lebih baik mencegah daripada mengobati”.

Berhubungan dengan siswa, setidaknya terdapat dua elemen penting untuk mencegahnya. Kedua elemen itu adalah guru dan orangtua. Guru, berupaya untuk mencegahnya selama proses pendidikan yang berlangsung di sekolah dari awal datang hingga pulang. Sementara orangtua, berupaya untuk mencegahnya selama diluar waktu sekolah tersebut.

Sebagai solusi yang ditawarkan, tak ada salahnya jika sekolah membuat suatu kebijakan atau peraturan tentang penggunaan gawai di sekolah. Misalnya, siswa tidak diperbolehkan untuk bermain gawai khususnya game yang tak mendidik. Selain itu, dilarang untuk mengakses situs-situs yang berbau penyimpangan seperti pornografi dan radikalisme. Terkecuali untuk mencari sumber belajar, itu pun diperbolehkan atas pendampingan dari guru. Atau bisa jadi, kebijakan khusus untuk siswa SD tidak diperbolehkan membawa gawai ke sekolah.

Sementara bagi orangtua, diharapkan selalu mengecek gawai milik sang anak. Baik dilakukan satu minggu sekali atau dua kali. Namun jangan secara terjadwal di hari yang sama, guna menghindari sang anak dalam mengakalinya. Selain itu, orangtua juga tak ada salahnya menerapkan aturan penggunaan gawai terhadap anak. Misalnya, dilarang untuk memegang gawai ketika waktunya belajar. Hal itu penting agar anak fokus dalam belajar dan tidak terganggu oleh gawai tersebut. Atau bisa jadi, bagi anak yang masih SD, tidak diberikan gawai yang berfasilitas lengkap seperti kebanyakan sekarang ini. Cukup dengan handphone sederhana, yang terpenting bisa melakukan komunikasi dengannya.

Dengan adanya sebuah aturan dalam membatasi penggunaan gawai pada siswa, baik yang dilakukan di lingkungan sekolah maupun rumah. Diharapkan bisa menumbuhkan kembali budaya belajar terhadap siswa masa kini. Sehingga nantinya, para siswa tersebut bisa menyadari bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan guna mempersiapkan diri dalam meraih masa depan yang lebih baik.

Apalagi, seiring dengan perkembangan zaman menjadikan persaingan hidup semakin ketat. Salah satu cara untuk memenangkan persaingan itu adalah dengan memiliki budaya belajar yang tinggi. Jangan sampai, gawai yang semakin canggih tersebut merenggut masa depan karena telah menghambat budaya belajar siswa. Semoga...

0 Comments

Post a Comment