Contoh Opini Galamedia - Ironisme Guru Honorer
Ironisme Guru Honorer |
Penulis : Dede Taufik, S.Pd.
Tantangan masa depan semakin kompleks. Hubungan kerjasama antarnegara akan terbuka lebar, mengakibatkan persaingan semakin ketat. Untuk menyikapi semua itu diperlukan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Artinya, mampu bersaing dengan bangsa lain dan tidak mudah menyerah, serta memiliki rasa percaya diri. Semua itu, tidak terlepas dari peran guru sebagai profesi yang diamanatkan untuk membimbing dan membina peserta didik agar menjadi SDM yang berkualitas tersebut.
Sejatinya, peran guru melalui pendidikan dapat mengantarkan ke profesi-profesi lainnya. Mustahil profesi seperti dokter, arsitek, pilot, dll. Bisa terbentuk, tanpa proses pendidikan yang dilakukan oleh guru sebelumnya. Tidak ada satupun profesi ahli, langsung bisa digeluti seseorang tanpa melewati jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan menengah terlebih dahulu.
Sejatinya, peran guru melalui pendidikan dapat mengantarkan ke profesi-profesi lainnya. Mustahil profesi seperti dokter, arsitek, pilot, dll. Bisa terbentuk, tanpa proses pendidikan yang dilakukan oleh guru sebelumnya. Tidak ada satupun profesi ahli, langsung bisa digeluti seseorang tanpa melewati jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan menengah terlebih dahulu.
Cita-cita menjadi dokter misalnya, seringkali terdengar oleh kita sebagai pendidik ketika bertanya terhadap peserta didik di dalam kelas. Tidak salah jika profesi dokter menjadi salah satu profesi yang digemari. Pasalnya, termasuk salah satu profesi yang bergengsi dan menjamin masa depan dengancerah. Hampir setelah lulus kuliah, dari mereka tidak ada yang menganggur dan semuanya langsung bisa menjalankan profesinya. Tentunya, dengan penghasilan yang mampu menyejahterakan kehidupan diri dan keluarganya.
Berbeda halnya dengan lulusan dari pendidikan guru. Setelah lulus, langsung mengabdikan diri sebagai tenaga sukarelawan dan saat ini namanya telah diganti menjadi honorer. Padahal, penggantian itu tidak memengaruhi terhadap penghasilan yang didapat. Masih bersifat kesukaan dan kerelaan dari pihak sekolah, sesuai dengan nama sebelumnya yaitu suka dan rela. Bahkan, tidak menutup kemungkinan dari mereka memilih hengkang dari sekolah untuk mencari pekerjaan lain meskipun tidak sesuai dengan ijazahnya.
Sungguh ironis, apabila dibandingkan dengan tuntutan yang dibebankan kepada guru honorer, khususnya di sekolah dasar. Dimana, tidak sedikit dari mereka mendapat tugas tambahan yaitu ditunjuk sebagai operator sekolah. Mungkin, ungkapan yang sesuai untuk menggambarkannya adalah "Ngajeurit maratan langit, Ngagoak maratan jagad" artinya tersiksa oleh keadaan. Hal ini, seiring dengan sering terjadinya gangguan pada server jaringan yang memperhambat penyelesaian tugasnya. Sementara, tuntutan penyelesaiannya dikejar oleh waktu dan jika tidak selesai akan berpengaruh terhadap sekolah, termasuk pencairan tunjangan profesi bagi guru bersertifikasi.
Tak dapat disalahkan, jika ada kalimat yang terlontar dari para guru honorer yang menyatakan "kalau artis dibayar mahal untuk merusak akhlak, sementara guru dibayar murah untuk memperbaiki akhlak". Pernyataan tersebut merupakan luapan emosi dari para guru honorer yang tak kunjung sejahtera, yang seringkali terekspos di media sosial seperti halnya facebook.
Mengingat besarnya peran guru honorer yang ikut berpartisipasi aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga menjadi SDM berkualitas. Tersirat pertanyaan yang mendalam, yaitu haruskah guru sejahtera? Yang berlaku bagi guru PNS maupun guru honorer. Pasalnya, pemerintah begitu berharap besar terhadap guru agar bisa menciptakan masa depan bangsa yang gemilang. Seperti penyataan yang pernah dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan, yang menyatakan potret masa depan adalah potret pendidikan saat ini.
Artinya, gambaran untuk masa depan bisa dilihat dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di sekolah pada masa sekarang. Apabila, proses pembelajaran dilakukan guru secara sungguh-sungguh dengan tepat bisa menggali potensi diri dari setiap individu peserta didik. Diasumsikan, ke depannya mereka dapat bersaing dengan mengembangkan potensinya tersebut. Namun, jika terjadi sebaliknya yang mengandaikan guru berproses seadanya, tanpa usaha maksimal. Potensi peserta didik bisa terbengkalai dan kelak setelah dewasa, mereka akan mengalami kebingungan harus bersaing dengan cara apauntuk memenangkan persaingan.
Namun sangat disayangkan, harapan besar itu tidak dibarengi dengan perhatian pemerintah yang sesuai terhadap para guru, terutama guru honorer. Bentuk apresiasi yang diberikan kepada guru honorer, tergatung pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Apabila dana BOS yang didapatkan oleh sekolah besar, maka honor yang diberikan kepada guru honorer pun bisa agak lumayan. Sementara kalau dana BOSnya kecil, honornya pun hanya cukup untuk transportasi saja.
Sesungguhnya, salah satu faktor seseorang bisa mengerjakan profesi secara sungguh-sungguh adalah terpenuhinya kesejahteraan hidup. Dengan begitu, pikiran maupun tenaga akan dikeluarkan secara maksimal agar pekerjaannya bisa menghasilkan hasil yang maksimal pula. Tanpa harus memikirkan pekerjaan lainnya untuk mendapatkan penghasilan tambahan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Misalnya, menjadi tukang ojek setelah kegiatan di sekolah berakhir.
Dari dulu hingga sekarang, janji manis seringkali disampaikan oleh para calon kepala daerah dan para calon anggota dewan kepada guru honorer. Bertujuan untuk menarik simpati dengan menjanjikan akan mendapat prioritas dalam hal pengangkatan CPNS. Tapi setelah mereka berhasil duduk di kursi idaman, realisasinya nyaris tidak ada karena tetap melalui aturan seleksi yang ada dan bahkan melalui jalur belakang (isu yang berkembang).
Berbeda halnya dengan lulusan dari pendidikan guru. Setelah lulus, langsung mengabdikan diri sebagai tenaga sukarelawan dan saat ini namanya telah diganti menjadi honorer. Padahal, penggantian itu tidak memengaruhi terhadap penghasilan yang didapat. Masih bersifat kesukaan dan kerelaan dari pihak sekolah, sesuai dengan nama sebelumnya yaitu suka dan rela. Bahkan, tidak menutup kemungkinan dari mereka memilih hengkang dari sekolah untuk mencari pekerjaan lain meskipun tidak sesuai dengan ijazahnya.
Sungguh ironis, apabila dibandingkan dengan tuntutan yang dibebankan kepada guru honorer, khususnya di sekolah dasar. Dimana, tidak sedikit dari mereka mendapat tugas tambahan yaitu ditunjuk sebagai operator sekolah. Mungkin, ungkapan yang sesuai untuk menggambarkannya adalah "Ngajeurit maratan langit, Ngagoak maratan jagad" artinya tersiksa oleh keadaan. Hal ini, seiring dengan sering terjadinya gangguan pada server jaringan yang memperhambat penyelesaian tugasnya. Sementara, tuntutan penyelesaiannya dikejar oleh waktu dan jika tidak selesai akan berpengaruh terhadap sekolah, termasuk pencairan tunjangan profesi bagi guru bersertifikasi.
Tak dapat disalahkan, jika ada kalimat yang terlontar dari para guru honorer yang menyatakan "kalau artis dibayar mahal untuk merusak akhlak, sementara guru dibayar murah untuk memperbaiki akhlak". Pernyataan tersebut merupakan luapan emosi dari para guru honorer yang tak kunjung sejahtera, yang seringkali terekspos di media sosial seperti halnya facebook.
Mengingat besarnya peran guru honorer yang ikut berpartisipasi aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga menjadi SDM berkualitas. Tersirat pertanyaan yang mendalam, yaitu haruskah guru sejahtera? Yang berlaku bagi guru PNS maupun guru honorer. Pasalnya, pemerintah begitu berharap besar terhadap guru agar bisa menciptakan masa depan bangsa yang gemilang. Seperti penyataan yang pernah dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan, yang menyatakan potret masa depan adalah potret pendidikan saat ini.
Artinya, gambaran untuk masa depan bisa dilihat dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di sekolah pada masa sekarang. Apabila, proses pembelajaran dilakukan guru secara sungguh-sungguh dengan tepat bisa menggali potensi diri dari setiap individu peserta didik. Diasumsikan, ke depannya mereka dapat bersaing dengan mengembangkan potensinya tersebut. Namun, jika terjadi sebaliknya yang mengandaikan guru berproses seadanya, tanpa usaha maksimal. Potensi peserta didik bisa terbengkalai dan kelak setelah dewasa, mereka akan mengalami kebingungan harus bersaing dengan cara apauntuk memenangkan persaingan.
Namun sangat disayangkan, harapan besar itu tidak dibarengi dengan perhatian pemerintah yang sesuai terhadap para guru, terutama guru honorer. Bentuk apresiasi yang diberikan kepada guru honorer, tergatung pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Apabila dana BOS yang didapatkan oleh sekolah besar, maka honor yang diberikan kepada guru honorer pun bisa agak lumayan. Sementara kalau dana BOSnya kecil, honornya pun hanya cukup untuk transportasi saja.
Sesungguhnya, salah satu faktor seseorang bisa mengerjakan profesi secara sungguh-sungguh adalah terpenuhinya kesejahteraan hidup. Dengan begitu, pikiran maupun tenaga akan dikeluarkan secara maksimal agar pekerjaannya bisa menghasilkan hasil yang maksimal pula. Tanpa harus memikirkan pekerjaan lainnya untuk mendapatkan penghasilan tambahan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Misalnya, menjadi tukang ojek setelah kegiatan di sekolah berakhir.
Dari dulu hingga sekarang, janji manis seringkali disampaikan oleh para calon kepala daerah dan para calon anggota dewan kepada guru honorer. Bertujuan untuk menarik simpati dengan menjanjikan akan mendapat prioritas dalam hal pengangkatan CPNS. Tapi setelah mereka berhasil duduk di kursi idaman, realisasinya nyaris tidak ada karena tetap melalui aturan seleksi yang ada dan bahkan melalui jalur belakang (isu yang berkembang).
Dalam menjawab pertanyaan tentang haruskah guru sejahtera, sebenarnya tidak perlu difulgarkan. Cukup dengan menganalisis fungsi dan peran guru di dalam kehidupan masyarakat dan harapan besar dari pemerintah, terutama orangtua. Tantangan ke depan dari para generasi saat ini pasti lebih besar, bukan hanya dengan bangsa sendiri namun dengan bangsa luar. Oleh karena itu, semoga saja pemerintah bisa menjawab pertanyaan tersebutdengan aksi nyata bukan janji-janji manis. Sehingga, semua guru bisa menjalankan tugasnya sepenuh hati dan tercipta SDM berkualitas yang mampu bersaing dan memenangkan persaingan di masa mendatang. Semoga...
0 Comments
Post a Comment