Contoh Opini Galamedia - Memanusiakan Guru Honorer: Berikut ini adalah salah satu tulisan saya yang dimuat di Koran Galamedia, dengan judul "Memanusiakan Guru Honorer". Tulisan ini dimuat pada tanggal 16 Februari 2016.
Opini Surat Kabar Galamedia, Selasa 16 Februari 2016 |
Memanusiakan Guru Honorer
Penulis : Dede Taufik, S.Pd.
Tanggal 10 Februari lalu, para tenaga honorer kategori dua (K2) melakukan demo besar-besaran di Istana Negara. Gugatan itu terkait dengan nasib para honorer yang tak kunjung menemukan solusi meskipun sudah bertahun-tahun melewati perjuangan. Padahal, para honorer itu berkontribusi besar terhadap tugas Negara, khususnya guru honorer yang ikut berperan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Poin penting dari tujuan penggugatan tersebut adalah untuk meminta keadilan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), agar bisa segera diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Hal ini dilakukan karena para tenaga honorer telah kehabisan batas kesabaran. Sabar dalam mendengarkan janji-janji manis, namun tak kunjung terealisasi.
Fenomena penggugatan tersebut nampaknya akan menjadi momentum unik di dunia. Pasalnya, sang pencerdas bangsa (guru honorer) menuntut keadilan terhadap pemerintahnya sendiri. Dimana pemerintahnya itu belum memiliki hati nurani untuk memberikan perhatian terhadap kesejahteraannya.
Nampaknya, pemerintahan Indonesia harus berguru terhadap Negara Jepang dalam hal menghargai dan memuliakan seorang ‘guru’. Jepang, ketika Kota Hiroshima dan Nagasaki luluh lantah di bom atom. Pertanyaan yang terlontar pertama kali dari pemimpinnya pada masa itu, bukan menanyakan berapa jumlah pejabat yang tersisa? Atau berapa jumlah asset Negara yang selamat? Melainkan, berapa jumlah guru yang masih hidup?
Itu artinya, guru di mata pemimpin Jepang pada masa itu sangat berharga. Bukan berarti menganggap profesi lainnya tidak penting, seperti halnya dokter atau para tentara. Dimana dokter secara jelas harus menangani para korban di rumah sakit dan juga para tentara harus siap siaga dalam kondisi yang tidak tentu dari kemungkinan serangan dadakan yang akan terjadi lagi.
Namun, mungkin saja pemimpin Jepang pada masa itu menyadari jika salah satu langkah untuk bangkit dari keterpurukan adalah melalui guru. Guru yang akan menyelamatkan generasi-generasinya dari kobodohan melalui pendidikan dan pengajaran. Terbukti, di masa sekarang, kini Jepang bisa menjadi negara maju baik di asia maupun di dunia.
Buah karya dari anak-anak bangsanya seperti peralatan elektronik dan transportasi. Menjadi karya yang tersebar di belahan dunia. Dan mungkin, yang menciptakannya merupakan anak-anak yang selamat dari bom atom pada masa itu yang kemudian dicerdaskan oleh guru-gurunya yang masih hidup.
Sementara di Indonesia, penghargaan yang diberikan kepada guru honorer nampak tidak ada. Pemerintah pun nampaknya menutup mata terhadap keberadaan honorer. Bahkan, bisa jadi pemerintah saling lempar tanggung jawab terkait guru honorer antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan (Idris Apandi). Padahal, berkaitan dengan tugas dan tuntutan sebagai ‘guru’ sebenarnya hampir sama dengan yang statusnya PNS. Namun, upah untuk guru honorer jauh dari layak.
Setidaknya, terdapat sekitar 440 ribu orang yang saat ini berstatus sebagai tenaga honorer K2. Dari semuanya, sudah berpuluh tahun mengabdikan diri kepada Negara. Menjadi bagian penting dalam Negara untuk menebarkan kebaikan agar bangsanya terbebas dari kebodohan. Untuk itu, mereka semua bertekad diri untuk memperjuangkan nasibnya atas hak yang sepantasnya mereka dapatkan.
Apalagi, jika sebenarnya anggaran pengangkatan untuk guru honorer itu telah dicanangkan pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2016. Tentunya, ini bisa menjadi suatu bentuk penghianatan nyata kepada rakyat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Fahira Idris selaku Wakil Ketua Komite III DPD, jika Presiden harus mampu menjelaskan terkait hilangnya anggaran itu ketika menjadi APBN. Padahal, dalam RAPBN tahun 2016 itu telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan begitu muncul pertanyaan, kemanakah anggaran untuk pengangkatan guru honorer itu dialihkan? Apakah ada yang lebih penting dari guru?
Pembangunan manusia melalui guru dalam dunia pendidikan sangat penting melebihi yang lainnya. Jika penciptaan SDM dilalui dengan proses yang fokus dan ikhlas, maka akan tercipta SDM yang berkualitas. Baik berkualitas secara akhlaknya maupun juga pengetahuannya. Namun, jika prosesnya tidak fokus karena pikirannya terbagi dengan pekerjaan lain untuk mencari penghasilan tambahan demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Niscaya, hasilnya pun tidak akan maksimal baik dari segi akhlak maupun pengetahuannya.
Diakui atau tidak, jika para guru honorer telah menjadi bagian tulang punggung pembangunan SDM, selain guru PNS. Untuk itu, saya merasa yakin jika gugatan yang akan dilakukan pada tanggal 10 Februari mendatang oleh para tenaga honorer. Bukan untuk membuat Negara ini menjadi kacau. Melainkan, para honorer hanya menuntut keadilan dari pemerintah untuk ‘memanusiakan guru honorer’.
0 Comments
Post a Comment