Saat ini, pembelajaran yang berorientasi pada potensi dan kebutuhan siswa menjadi perhatian utama ahli pendidikan Pendekatan pengajaran yang menempatkan guru sebagai sentral kegiatan belajar-mengajar sedikit-demi sedikit mulai ditinggalkan. Arah angin berpihak pada suatu sistem pendidikan yang menempatkan siswa pada posisi ‘diberdayakan’ secara maksimal yaitu mendidik mereka berdasarkan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Filosofi itulah salah satunya yang mendasari pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-base curriculum).
Beberapa kecenderungan pemikiran dalam teori belajar yang mendasari filosofi pembelajaran berbasis kompetensi antara lain berikut ini.
1. Belajar tidak hanya sekedar menghapal, tetapi siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dan kemampuan di benak mereka sendiri.
2. Anak belajar dari mengalami, yaitu anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
3. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter).
4. Pengetahuan tidak dapat dipisah-dipisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
5. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
6. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit.
7. Penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar, dan ‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
8. Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
9. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus-menerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku.
Dalam kelas KBK, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru Guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’. Filsafat belajar yang mendasari pemikiran itu adalah konstruktivisme. Begitulah peran guru di kelas yang berbasis konstruktivisme.
Pendekatan belajar yang berasaskan konstruktivisme antara lain
1. pendekatan kontekstual,
2. life-skills education,
3. pendekatan CBSA,
4. pendekatan inkuiri,
5. pendekatan pemecahan masalah
6. pendekatan proses,
7. pendekatan kuantum (Quantum Teaching and Learning),
8. authentic instruction,
9. pendekatan kooperatif, dan
10. work-based learing.
Ciri pembelajaran yang kontruktivistik telah antara lain berikut ini.
1. Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
2. Keterampilan dikembangan atas dasar pemahaman.
3. Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, berdasarkan motivasi intrinsik.
4. Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya.
5. Pembelajaran bahasa dilakukan dengan pendekatan komunikatif, yaitu siswa diajak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks nyata.
6. Siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran.
7. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangan oleh manusia itu sendiri, dengan cara memberi makna pada pengalamannya. Oleh karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete)
8. Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi.
9. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber.
10. Pembelajaran terjadi di berbagai konteks dan setting (Zahorik, 1995).
Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikn pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Menurut Johnson (2002:24), ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran yang ideal, seperti dalam rincian berikut.
1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections)
Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).
2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work)
Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
3. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning)
Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya/hasilnya yang sifatnya nyata.
4. Bekerja sama (collaborating)
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
5. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking)
Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti.
6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual)
Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards):
Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”.
8. Menggunakan penilaian otentik (using authentic assessment)
Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa Inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah, atau membuat penyajian perihal emosi manusia.
Sementara itu, The Northwest Regional Education Laboratory USA mengidentifikasikan adanya enam kunci dasar dari pembelajaran yang ideal.
1. Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa di dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupannya di masa mendatang. Prinsip ini sejalan dengan pembelajaran bermakna (meaningful learning) yang diajukan oleh Ausuble.
2. Penerapan pengetahuan: adalah kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tatanan kehidupan dan fungsi di masa sekarang atau di masa depan.
3. Berpikir tingkat tinggi: siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan berpikir kreatifnya dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah.
4. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: Isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dunia kerja.
5. Responsif terhadap budaya: guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, teman, pendidik dan masyarakat tempat ia mendidik. Ragam individu dan budaya suatu kelompok serta hubungan antar budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar guru. Setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan di dalam pembelajaran kontekstual, yaitu individu siswa, kelompok siswa baik sebagai tim atau keseluruhan kelas, tatanan sekolah dan besarnya tatanan komunitas kelas.
6. Penilaian autentik: penggunaan berbagai strategi penilaian (misalnya penilaian proyek/tugas terstruktur, kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubrik, daftar cek, pedoman observasi, dan sebagainya) akan merefleksikan hasil belajar sesungguhnya.
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah diarahkan sebagai sarana pembinaan dan kesatuan bangsa, peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia siswa, sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan, dan sarana pengembangan penalaran. Tujuan ‘idealis’ itu selanjutnya diturunkan ke dalam tujuan umum: (1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara; (2) siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan; (3) siswa menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual (berpikir kreatif, menggunakan akal sehat, menerapkan pengetahuan yang berguna, dan memecahkan masalah), kematangan emosional dan sosial; dan (4) siswa mampu menikmati, memahami, dan memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
Pembelajaran sastra, secara umum akan menjadi sarana pendidikan moral. Kesadaran moral dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai sumber. Selain berdialog dengan orang-orang yang sudah teruji kebijaksanaannya, sumber-sumber tertulis seperti biografi, etika, dan karya sastra dapat menjadi bahan pemikiran dan perenungan tentang moral. Karya sastra yang bernilai tinggi di dalammnya terkandung pesan-pesan moral yang tinggi. Karya ini merekam semangat zaman pada suatu tempat dan waktu tertentu yang disajikan dengan gagasan yang berisi renungan falsafi. Sastra seperti ini dapat menjadi medium untuk menggerakkan dan mengangkat manusia pada harkat yang lebih tinggi. Karya sastra tersebut dapat berupa prosa fiksi, puisi, maupun drama.
Ke depan, pembelajaran sastra dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan ideal seperti itu. Melalui pembelajaran sastra, anak diharapkan menjadi warga yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang luhur.
Lalu, dalam konteks kecenderungan pemikiran seperti itu, bagaimanakah seharusnya pembelajaran bahasa Indonesia dikemas? Pendekatan pembelajaran yang bagaimanakah yang tepat untuk diterapkan?
Mengikuti pandangan di atas, pengajaran bahasa Indonesia seharusnya dikembalikan pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu melatih siswa membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, dan mengapresiasi sastra yang sesungguhnya. Tugas guru adalah melatih siswa membaca sebanyak-banyaknya, menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi sebanyak-banyaknya. Artinya, guru harus menghindari pengajaran yang berisi pengetahuan tentang bahasa Indonesia (using the language, bukan talk about the language). Apa yang diajarkan seharusnya dekat dengan kebutuhan berbahasa Indonedia siswa.
Pengajaran bahasa Indonesia dijalankan melalui pendekatan komunikatif, pendekatan tematis, dan pendekatan terpadu. Pendekatan komunikatif mengisyaratkan agar pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah diorientasikan pada penguasaan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi (bukan pembekalan pengetahuan kebahasaan saja). Pendekatan tematis menyarankan agar pembelajaran bahasa diikat oleh tema-tema yang dekat dengan kehidupan siswa, yang digunakan sebagai sarana berlatih membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Pendekatan terpadu menyarankan agar pengajaran bahasa Indonesia didasarkan pada wawasan Whole Language, yaitu wawasan belajar bahasa yang intinya menyarankan agar kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan terpadu antara membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Dengan konsep itu, dalam jangka panjang, target penguasaan kemahirwacanaan itu bisa tercapai.
Prinsip yang mendasari guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis. Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan. Sedangkan prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas bahasa tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai ‘pemicu’ kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa Indonesia agar dihindari.
Bahasa, di sekolah, sebagai alat untuk mengajar dan belajar. Melalui penggunaan bahasa, guru mengomunikasikan apa yang diajarkan dan siswa mengekspresikan apa yang mereka pelajari (DeStefano, 1984:155). Untuk berhasil di dalam kelas, siswa harus belajar membaca, menulis, dan menghitung. Kemudian, keberhasilan di sekolah juga ditentukan oleh oleh keterampilan akademik dan interaksional. Ketepatan informasi harus disalurkan dengan menggunakan bahasa yang tepat pula. Jadi belajar membaca dan menulis diperlukan untuk menyelesaikan sebagian besar tugas bagi siswa (DeStefano, 1984:156-157). Pertumbuhan kognitif adalah sebuah fungsi literasi. Kemampuan menulis mendorong pertumbuhan kognitif dan sebaliknya kognisi tumbuh bersama kemampuan menulis.
Di dalam berkolaborasi dengan guru ketika merencanakan, mengerjakan, dan melaporkan proyek misalnya, siswa secara simultan belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Mereka belajar berbahasa dengan menggunakan bahasa melalui mendengar, membaca, berdiskusi, dan membuat suatu perencanaan (menulis). Mereka juga belajar melalui bahasa, yakni ketika mempelajari dunia perkebunan misalnya dari buku-buku atau bacaan. Peristiwa mengobservasi dan kemudian melaporkannya adalah contoh belajar melalui bahasa.
Dengan belajar melalui bahasa, isi pelajaran dan bahasa secara simultan dipelajari. Meringkas pengalaman juga contoh belajar melalui bahasa. Lebih lanjut, kegiatan merencanakan kebun misalnya, sekaligus mencakup tiga aspek belajar bahasa secara simultan tanpa pengajaran secara langsung (melalui mata pelajaran bahasa). Guru memberikan konteks sosial dan intelektual yang mendukung pembelajaran dan penggunaan bahasa. Dalam kaitan ini, sesungguhnya guru merencanakan peristiwa literasi (literacy event) yang membuat siswa akrab untuk berpartisipasi secara mandiri. Tegasnya, dalam berbagai kesempatan, formal atau informal, guru menciptakan situasi dan siswa diberi pengalaman belajar berbahasa. Mereka membangun pemahaman terhadap dunia mereka melalui menyimak dan membaca dan mempresentasikannya melalui berbicara dan menulis (Platt, 1989).
Khusus mengenai kegiatan menulis, ia mempunyai posisi tersendiri dalam kaitannya dengan upaya membantu siswa mengembangkan kegiatan berpikir dan pendalaman bahan ajar. Berdasarkan penyelidikannya terhadap guru, pembelajaran dan kegiatan menulis, menurut Raimes (1987), bertujuan (1) memberikan penguatan (reinforcement), (2) memberikan pelatihan (training), (3) membimbing siswa melakukan peniruan atau imitasi (imitation, (4) melatih siswa berkomunikasi (communication), (5) membuat siswa lebih lancar dalam berbahasa (fluency), dan (6) menjadikan siswa lebih giat belajar (learning). Keenam tujuan pedagogis menulis itu secara berurutan dijelaskan berikut ini.
Pertama, menulis untuk memberi penguatan hasil belajar bahasa (writing for reinforcement). Tujuan pedagogis yang pertama ini mengarah kepada penguatan pemahaman unsur dan kaidah bahasa oleh siswa melalui penggunaan bahasa secara tertulis.
Kedua, menulis untuk memberi pelatihan penggunaan bahasa (writing for training). Tujuan pemberian pelatihan melalui menulis ini tidak terbatas pada pelatihan penggunaan bahasa (retorika dan struktur gramatika) dengan berbagai variasinya, tetapi juga dalam mengemukakan gagasan.
Ketiga, menulis untuk melakukan peniruan (imitasi) penggunaan retorik dan sintaktik (writing for imitation). Tujuan pedagogis ketiga ini mengarah pada upaya untuk meng-akrabkan siswa dengan aspek retorik dan sintaktik dalam menulis. Gaya pengungkapan gagasan dari wacana yang dibaca juga dapat “ditiru” untuk belajar.
Keempat, menulis untuk berlatih berkomunikasi (writing for communication). Melalui menulis siswa akan belajar berkomunikasi secara tertulis dalam kegiatan yang nyata. Pengalaman ini diharapkan juga memberi sumbangan dalam pengembangan kemampuan berkomunikasi secara lisan.
Kelima, menulis untuk meningkatan kelancaran (writing for fluency). Kelancaran yang dimaksud mencakup kelancaran dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta kelancaran dalam mengemukakan gagasan.
Terakhir, menulis untuk belajar (writing for learning). Tujuan pedagogis terakhir inilah yang sangat erat kaitannya dengan upaya pengembangan budaya belajar secara mandiri melalui membaca-berpikir-menulis. Menulis untuk belajar mempunyai makna yang sangat dalam untuk membuat siswa belajar secara benar dalam arti yang seluas-luasnya.
Kegiatan menulis ternyata mempunyai peranan penting bagi siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir dan mendalami bahan ajar. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila menulis menjadi aktivitas penting dalam setiap pembelajaran di sekolah. Itu berarti, perlu dikembangkan kegiatan menulis lintas kurikulum, mengingat: (1) menulis, selain membaca dan mendengar, bermanfaat untuk belajar, (2) menulis dapat membantu siswa mempelajari informasi baru dalam mata pelajaran yang sedang dipelajari, (3) menulis memfasilitasi strategi-strategi pemecahan masalah siswa untuk mengorganisasi informasi lama dan baru, (4) menulis dapat mengajarkan siswa konvensi pragmatik dan kesadaran akan mitra (tutur/tulis) dan mengembangkan proses penting agar mampu berkomunikasi secara berhasil, (5) menulis dapat mengajarkan siswa mengevaluasi kekritisannya terhadap informasi yang mereka pelajari, dan (6) menulis dapat mengajarkan kepada siswa bagaimana mereka menerima atau menganalisis pengalaman-pengalaman personal mereka sendiri (Beach, 1984:183-184). Alasan-alasan tersebut sejalan dengan upaya mengembangkan strategi heuristik pada siswa. Dengan demikian menulis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk semua mata pelajaran mengingat melalui menulis siswa dapat belajar bagaimana belajar, yakni melalui bagaimana membuat generalisasi, definisi, dan menerapkan skematanya terhadap sesuatu yang sedang dipelajari. Menulis tidak hanya bergantung pada proses kognitif tetapi juga dapat memberi penguatan afektif terhadap proses membaca. Oleh karena itu, menulis sebagai alat belajar perlu mendapat perhatian serius di sekolah (Beach, 1984).
Guru dapat memberdayakan siswa menjadi berhasil dan independen dalam belajar dengan dua cara, (1) mendokumentasikan efektivitas pengajaran yang dilakukan guru untuk memperbaiki hasil belajar, dan (2) guru menjadi mitra (partner) siswa dalam belajar (Eanes, 1997:54). Dengan kata lain, siswa membaca dan menulis untuk tujuan mencari, belajar, dan menerapkan informasi (isi) pelajaran. Dalam waktu yang bersamaan siswa dapat mengembangkan keterampilan literasi, misalnya: mengembangkan strategi membaca efektif, kebiasaan belajar secara efisien, memanfaatkan kosakata secara maksimal, berpikir kritis, dan percaya diri dalam menulis. Sebagai hasilnya, melalui aktivitas literasi akan memberdayakan siswa untuk mengadakan eksplorasi, meneliti, dan menikmati isi pengetahuan menurut kebutuhan dan minat mereka sendiri sebagai pembelajar yang independen (Eanes, 1997:54).
Dengan demikian, menurut McKenna dan Robinson (1990), hal itu dapat memaksimalkan pemerolehan isi pelajaran. Meskipun isi pelajaran memungkinkan diajarkan secara berhasil melalui pengajaran lisan secara langsung, McKenna dan Robinson mengidentifikasi empat alasan penting mengapa aktivitas kemahirwacaaan perlu dikembangkan. Pertama, hasil dari aktivitas literasi sebagai komplemen bagi pengajaran lisan dan meluaskan perspektif siswa. Kedua, aktivitas literasi memberikan sebuah tindak lanjut alamiah terhadap pengajaran langsung mendorong guru untuk melayani kebutuhan dan minat individual siswa. Ketiga, metode-metode terkini mengenai pengajaran langsung mencakup fase praktik, dalam hal ini aktivitas literasi tampaknya sangat sesuai. Keempat, siswa akan mempunyai tantangan untuk mengembangkan literasi isi lebih luas dari pengetahuan yang diperoleh dari disiplin ilmu dengan keterbatasan ruang lingkup dan waktu pelajaran. Kelas-kelas mata pelajaran merupakan seting yang ideal untuk praktik pengembangan keterampilan literasi. Terakhir, aktivitas literasi memberikan fondasi penting bagi perkembangan literasi dan belajar sepanjang hayat (Eanes, 1997:55). Aktivitas literasi juga dapat menjadikan siswa sebagai pembaca yang efektif, penulis yang kompeten, pemikir yang kritis, dan pembelajar yang mandiri.
Guru yang memberi pengajaran dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan sendiri mengenai isi teks akan meningkatkan pembelajaran karena guru mendorong keaktifan siswa dengan melatih menyusun kembali teks dan membangun makna. Siswa yang dapat menjawab pertanyaannya sendiri akan dapat mengecek pemahamannya mengenai teks yang telah dibacanya (Palinscar, 2001). Melalui serangkaian proses pembelajaran yang kaya tersebut, diharapkan siswa akan dapat mengembangkan keterampilan berpikir dan sekaligus mendalami bahan ajar berbagai mata pelajaran yang sedang diikuti. Kedua hal tersebut sangat penting bagi siswa untuk keberhasilan belajarnya di sekolah. Dengan demikian, kegiatan menulis sebagai bagian dari aktivitas inti literasi perlu terus dikembangkan di sekolah melalui pembelajaran setiap mata pelajaran.
Agar tujuan tercapai, disarankan agar tugas-tugas (task) dan latihan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dijalankan secara bervariasi, berselang-seling, dan diperkaya, baik materi maupun kegiatannya. Harus disadari benar oleh guru bahwa kegiatan berbahasa itu tak terbatas sifatnya. Membaca artikel, buku, iklan, brosur; mendengarkan pidato, laporan, komentar, berita; menulis surat, laporan, karya sastra, telegram, mengisi blangko; berbicara dalam forum, mewawancarai, dan sebagainya adalah contoh betapa luasnya pemakaian bahasa Indonesia itu.
Gambaran tujuan dan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia di atas sejauh ini masih jauh terapannya di kelas riil sekolah. Harapan bahwa dengan pembelajaran bahasa Indonesia anak-anak dapat membaca dengan baik, menulis dengan lancar, dan berbicara dengan sopan, baik, dan berani, masih ‘jauh panggang dari api’. Sebagian besar, guru masih berkutat pada penyampaian teori yang tak relevan dengan kebutuhan berkomunikasi. Permasalahan yang dihadapi pengajaran bahasa Indonesia masih kompleks dan perlu pembinaan terus-menerus. Masukan-masukan yang berupa laporan yang berasal dari keadaan nyata di sekolah akan sangat berarti bagi penentu kebijakan.
Saat ini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa pertama bagi sebagian besar siswa di Indonesia. Artinya, ketika masuk sekolah, siswa telah terpajani oleh lingkungan berbahasa Indonesia. Tugas guru adalah meningkatkan kemampuan itu melalui kegiatan berbahasa Indonesia nyata, bukan mengajarkan ilmu tentang bahasa Indonesia. Hanya, yang terjadi kemudian adalah (1) guru lebih banyak menerangkan tentang bahasa (form-focus), (2) tata bahasa sebagai bahan yang diajarkan, (3) keterampilan berbahasa nyata kurang diperhatkan, (4) membaca dan menulis sebagai sesuatu yang diajarkan, bukan sebagai media berkomunikasi dan berekspresi.
Penekanan pembelajaran bahasa Indonesia hanya pada tata bahasa, yang relevansinya dengan kebutuhan berbahasa kurang. Murid hanya menghafal jenis kata, pengertian kalimat, fungsi-fungsi awalan, dan beragam peribahasa usang. Lalu pertanyaannya, manakah kemampuan membaca dan menulis kreatif yang seharusnya dikuasai siswa melalui pengajaran bahasa Indonesia?
Sebaiknya, pengajaran bahasa Indonesia dikembalikan pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu melatih siswa membaca sebanyak-banyaknya, menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi sebanyak-banyaknya. Misalnya, membaca berita, membaca cerpen, membaca iklan, menulis surat, menulis iklan baris, membuat laporan, mendengarkan berita, membacakan pengumuman, dan sejenisnya. Dengan demikian, PBI akan menjadi pelajaran yang menarik dan ‘berguna’. Jika tata bahasa harus diajarkan, sebenarnya hanya untuk menunjang kemampuan-kemampuan tersebut. Guru disarankan agar kembali berpegang pada sasaran tujuan pengajaran bahasa Indonesia, yaitu melatih siswa menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi berbahasa nyata. Materi-materi yang tingkat kebergunaannya rendah, seperti teori tata bahasa umum dan pengetahuan tentang tata bahasa sebaiknya dikurangi.
Beberapa kecenderungan pemikiran dalam teori belajar yang mendasari filosofi pembelajaran berbasis kompetensi antara lain berikut ini.
1. Belajar tidak hanya sekedar menghapal, tetapi siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dan kemampuan di benak mereka sendiri.
2. Anak belajar dari mengalami, yaitu anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
3. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter).
4. Pengetahuan tidak dapat dipisah-dipisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
5. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
6. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit.
7. Penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar, dan ‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
8. Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
9. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus-menerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku.
Dalam kelas KBK, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru Guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’. Filsafat belajar yang mendasari pemikiran itu adalah konstruktivisme. Begitulah peran guru di kelas yang berbasis konstruktivisme.
Pendekatan belajar yang berasaskan konstruktivisme antara lain
1. pendekatan kontekstual,
2. life-skills education,
3. pendekatan CBSA,
4. pendekatan inkuiri,
5. pendekatan pemecahan masalah
6. pendekatan proses,
7. pendekatan kuantum (Quantum Teaching and Learning),
8. authentic instruction,
9. pendekatan kooperatif, dan
10. work-based learing.
Ciri pembelajaran yang kontruktivistik telah antara lain berikut ini.
1. Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
2. Keterampilan dikembangan atas dasar pemahaman.
3. Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, berdasarkan motivasi intrinsik.
4. Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya.
5. Pembelajaran bahasa dilakukan dengan pendekatan komunikatif, yaitu siswa diajak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks nyata.
6. Siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran.
7. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangan oleh manusia itu sendiri, dengan cara memberi makna pada pengalamannya. Oleh karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete)
8. Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi.
9. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber.
10. Pembelajaran terjadi di berbagai konteks dan setting (Zahorik, 1995).
Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikn pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Menurut Johnson (2002:24), ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran yang ideal, seperti dalam rincian berikut.
1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections)
Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).
2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work)
Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
3. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning)
Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya/hasilnya yang sifatnya nyata.
4. Bekerja sama (collaborating)
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
5. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking)
Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti.
6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual)
Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards):
Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”.
8. Menggunakan penilaian otentik (using authentic assessment)
Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa Inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah, atau membuat penyajian perihal emosi manusia.
Sementara itu, The Northwest Regional Education Laboratory USA mengidentifikasikan adanya enam kunci dasar dari pembelajaran yang ideal.
1. Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa di dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupannya di masa mendatang. Prinsip ini sejalan dengan pembelajaran bermakna (meaningful learning) yang diajukan oleh Ausuble.
2. Penerapan pengetahuan: adalah kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tatanan kehidupan dan fungsi di masa sekarang atau di masa depan.
3. Berpikir tingkat tinggi: siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan berpikir kreatifnya dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah.
4. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: Isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dunia kerja.
5. Responsif terhadap budaya: guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, teman, pendidik dan masyarakat tempat ia mendidik. Ragam individu dan budaya suatu kelompok serta hubungan antar budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar guru. Setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan di dalam pembelajaran kontekstual, yaitu individu siswa, kelompok siswa baik sebagai tim atau keseluruhan kelas, tatanan sekolah dan besarnya tatanan komunitas kelas.
6. Penilaian autentik: penggunaan berbagai strategi penilaian (misalnya penilaian proyek/tugas terstruktur, kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubrik, daftar cek, pedoman observasi, dan sebagainya) akan merefleksikan hasil belajar sesungguhnya.
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah diarahkan sebagai sarana pembinaan dan kesatuan bangsa, peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia siswa, sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan, dan sarana pengembangan penalaran. Tujuan ‘idealis’ itu selanjutnya diturunkan ke dalam tujuan umum: (1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara; (2) siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan; (3) siswa menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual (berpikir kreatif, menggunakan akal sehat, menerapkan pengetahuan yang berguna, dan memecahkan masalah), kematangan emosional dan sosial; dan (4) siswa mampu menikmati, memahami, dan memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
Pembelajaran sastra, secara umum akan menjadi sarana pendidikan moral. Kesadaran moral dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai sumber. Selain berdialog dengan orang-orang yang sudah teruji kebijaksanaannya, sumber-sumber tertulis seperti biografi, etika, dan karya sastra dapat menjadi bahan pemikiran dan perenungan tentang moral. Karya sastra yang bernilai tinggi di dalammnya terkandung pesan-pesan moral yang tinggi. Karya ini merekam semangat zaman pada suatu tempat dan waktu tertentu yang disajikan dengan gagasan yang berisi renungan falsafi. Sastra seperti ini dapat menjadi medium untuk menggerakkan dan mengangkat manusia pada harkat yang lebih tinggi. Karya sastra tersebut dapat berupa prosa fiksi, puisi, maupun drama.
Ke depan, pembelajaran sastra dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan ideal seperti itu. Melalui pembelajaran sastra, anak diharapkan menjadi warga yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang luhur.
Lalu, dalam konteks kecenderungan pemikiran seperti itu, bagaimanakah seharusnya pembelajaran bahasa Indonesia dikemas? Pendekatan pembelajaran yang bagaimanakah yang tepat untuk diterapkan?
Mengikuti pandangan di atas, pengajaran bahasa Indonesia seharusnya dikembalikan pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu melatih siswa membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, dan mengapresiasi sastra yang sesungguhnya. Tugas guru adalah melatih siswa membaca sebanyak-banyaknya, menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi sebanyak-banyaknya. Artinya, guru harus menghindari pengajaran yang berisi pengetahuan tentang bahasa Indonesia (using the language, bukan talk about the language). Apa yang diajarkan seharusnya dekat dengan kebutuhan berbahasa Indonedia siswa.
Pengajaran bahasa Indonesia dijalankan melalui pendekatan komunikatif, pendekatan tematis, dan pendekatan terpadu. Pendekatan komunikatif mengisyaratkan agar pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah diorientasikan pada penguasaan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi (bukan pembekalan pengetahuan kebahasaan saja). Pendekatan tematis menyarankan agar pembelajaran bahasa diikat oleh tema-tema yang dekat dengan kehidupan siswa, yang digunakan sebagai sarana berlatih membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Pendekatan terpadu menyarankan agar pengajaran bahasa Indonesia didasarkan pada wawasan Whole Language, yaitu wawasan belajar bahasa yang intinya menyarankan agar kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan terpadu antara membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Dengan konsep itu, dalam jangka panjang, target penguasaan kemahirwacanaan itu bisa tercapai.
Prinsip yang mendasari guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis. Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan. Sedangkan prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas bahasa tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai ‘pemicu’ kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa Indonesia agar dihindari.
Bahasa, di sekolah, sebagai alat untuk mengajar dan belajar. Melalui penggunaan bahasa, guru mengomunikasikan apa yang diajarkan dan siswa mengekspresikan apa yang mereka pelajari (DeStefano, 1984:155). Untuk berhasil di dalam kelas, siswa harus belajar membaca, menulis, dan menghitung. Kemudian, keberhasilan di sekolah juga ditentukan oleh oleh keterampilan akademik dan interaksional. Ketepatan informasi harus disalurkan dengan menggunakan bahasa yang tepat pula. Jadi belajar membaca dan menulis diperlukan untuk menyelesaikan sebagian besar tugas bagi siswa (DeStefano, 1984:156-157). Pertumbuhan kognitif adalah sebuah fungsi literasi. Kemampuan menulis mendorong pertumbuhan kognitif dan sebaliknya kognisi tumbuh bersama kemampuan menulis.
Di dalam berkolaborasi dengan guru ketika merencanakan, mengerjakan, dan melaporkan proyek misalnya, siswa secara simultan belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Mereka belajar berbahasa dengan menggunakan bahasa melalui mendengar, membaca, berdiskusi, dan membuat suatu perencanaan (menulis). Mereka juga belajar melalui bahasa, yakni ketika mempelajari dunia perkebunan misalnya dari buku-buku atau bacaan. Peristiwa mengobservasi dan kemudian melaporkannya adalah contoh belajar melalui bahasa.
Dengan belajar melalui bahasa, isi pelajaran dan bahasa secara simultan dipelajari. Meringkas pengalaman juga contoh belajar melalui bahasa. Lebih lanjut, kegiatan merencanakan kebun misalnya, sekaligus mencakup tiga aspek belajar bahasa secara simultan tanpa pengajaran secara langsung (melalui mata pelajaran bahasa). Guru memberikan konteks sosial dan intelektual yang mendukung pembelajaran dan penggunaan bahasa. Dalam kaitan ini, sesungguhnya guru merencanakan peristiwa literasi (literacy event) yang membuat siswa akrab untuk berpartisipasi secara mandiri. Tegasnya, dalam berbagai kesempatan, formal atau informal, guru menciptakan situasi dan siswa diberi pengalaman belajar berbahasa. Mereka membangun pemahaman terhadap dunia mereka melalui menyimak dan membaca dan mempresentasikannya melalui berbicara dan menulis (Platt, 1989).
Khusus mengenai kegiatan menulis, ia mempunyai posisi tersendiri dalam kaitannya dengan upaya membantu siswa mengembangkan kegiatan berpikir dan pendalaman bahan ajar. Berdasarkan penyelidikannya terhadap guru, pembelajaran dan kegiatan menulis, menurut Raimes (1987), bertujuan (1) memberikan penguatan (reinforcement), (2) memberikan pelatihan (training), (3) membimbing siswa melakukan peniruan atau imitasi (imitation, (4) melatih siswa berkomunikasi (communication), (5) membuat siswa lebih lancar dalam berbahasa (fluency), dan (6) menjadikan siswa lebih giat belajar (learning). Keenam tujuan pedagogis menulis itu secara berurutan dijelaskan berikut ini.
Pertama, menulis untuk memberi penguatan hasil belajar bahasa (writing for reinforcement). Tujuan pedagogis yang pertama ini mengarah kepada penguatan pemahaman unsur dan kaidah bahasa oleh siswa melalui penggunaan bahasa secara tertulis.
Kedua, menulis untuk memberi pelatihan penggunaan bahasa (writing for training). Tujuan pemberian pelatihan melalui menulis ini tidak terbatas pada pelatihan penggunaan bahasa (retorika dan struktur gramatika) dengan berbagai variasinya, tetapi juga dalam mengemukakan gagasan.
Ketiga, menulis untuk melakukan peniruan (imitasi) penggunaan retorik dan sintaktik (writing for imitation). Tujuan pedagogis ketiga ini mengarah pada upaya untuk meng-akrabkan siswa dengan aspek retorik dan sintaktik dalam menulis. Gaya pengungkapan gagasan dari wacana yang dibaca juga dapat “ditiru” untuk belajar.
Keempat, menulis untuk berlatih berkomunikasi (writing for communication). Melalui menulis siswa akan belajar berkomunikasi secara tertulis dalam kegiatan yang nyata. Pengalaman ini diharapkan juga memberi sumbangan dalam pengembangan kemampuan berkomunikasi secara lisan.
Kelima, menulis untuk meningkatan kelancaran (writing for fluency). Kelancaran yang dimaksud mencakup kelancaran dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta kelancaran dalam mengemukakan gagasan.
Terakhir, menulis untuk belajar (writing for learning). Tujuan pedagogis terakhir inilah yang sangat erat kaitannya dengan upaya pengembangan budaya belajar secara mandiri melalui membaca-berpikir-menulis. Menulis untuk belajar mempunyai makna yang sangat dalam untuk membuat siswa belajar secara benar dalam arti yang seluas-luasnya.
Kegiatan menulis ternyata mempunyai peranan penting bagi siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir dan mendalami bahan ajar. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila menulis menjadi aktivitas penting dalam setiap pembelajaran di sekolah. Itu berarti, perlu dikembangkan kegiatan menulis lintas kurikulum, mengingat: (1) menulis, selain membaca dan mendengar, bermanfaat untuk belajar, (2) menulis dapat membantu siswa mempelajari informasi baru dalam mata pelajaran yang sedang dipelajari, (3) menulis memfasilitasi strategi-strategi pemecahan masalah siswa untuk mengorganisasi informasi lama dan baru, (4) menulis dapat mengajarkan siswa konvensi pragmatik dan kesadaran akan mitra (tutur/tulis) dan mengembangkan proses penting agar mampu berkomunikasi secara berhasil, (5) menulis dapat mengajarkan siswa mengevaluasi kekritisannya terhadap informasi yang mereka pelajari, dan (6) menulis dapat mengajarkan kepada siswa bagaimana mereka menerima atau menganalisis pengalaman-pengalaman personal mereka sendiri (Beach, 1984:183-184). Alasan-alasan tersebut sejalan dengan upaya mengembangkan strategi heuristik pada siswa. Dengan demikian menulis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk semua mata pelajaran mengingat melalui menulis siswa dapat belajar bagaimana belajar, yakni melalui bagaimana membuat generalisasi, definisi, dan menerapkan skematanya terhadap sesuatu yang sedang dipelajari. Menulis tidak hanya bergantung pada proses kognitif tetapi juga dapat memberi penguatan afektif terhadap proses membaca. Oleh karena itu, menulis sebagai alat belajar perlu mendapat perhatian serius di sekolah (Beach, 1984).
Guru dapat memberdayakan siswa menjadi berhasil dan independen dalam belajar dengan dua cara, (1) mendokumentasikan efektivitas pengajaran yang dilakukan guru untuk memperbaiki hasil belajar, dan (2) guru menjadi mitra (partner) siswa dalam belajar (Eanes, 1997:54). Dengan kata lain, siswa membaca dan menulis untuk tujuan mencari, belajar, dan menerapkan informasi (isi) pelajaran. Dalam waktu yang bersamaan siswa dapat mengembangkan keterampilan literasi, misalnya: mengembangkan strategi membaca efektif, kebiasaan belajar secara efisien, memanfaatkan kosakata secara maksimal, berpikir kritis, dan percaya diri dalam menulis. Sebagai hasilnya, melalui aktivitas literasi akan memberdayakan siswa untuk mengadakan eksplorasi, meneliti, dan menikmati isi pengetahuan menurut kebutuhan dan minat mereka sendiri sebagai pembelajar yang independen (Eanes, 1997:54).
Dengan demikian, menurut McKenna dan Robinson (1990), hal itu dapat memaksimalkan pemerolehan isi pelajaran. Meskipun isi pelajaran memungkinkan diajarkan secara berhasil melalui pengajaran lisan secara langsung, McKenna dan Robinson mengidentifikasi empat alasan penting mengapa aktivitas kemahirwacaaan perlu dikembangkan. Pertama, hasil dari aktivitas literasi sebagai komplemen bagi pengajaran lisan dan meluaskan perspektif siswa. Kedua, aktivitas literasi memberikan sebuah tindak lanjut alamiah terhadap pengajaran langsung mendorong guru untuk melayani kebutuhan dan minat individual siswa. Ketiga, metode-metode terkini mengenai pengajaran langsung mencakup fase praktik, dalam hal ini aktivitas literasi tampaknya sangat sesuai. Keempat, siswa akan mempunyai tantangan untuk mengembangkan literasi isi lebih luas dari pengetahuan yang diperoleh dari disiplin ilmu dengan keterbatasan ruang lingkup dan waktu pelajaran. Kelas-kelas mata pelajaran merupakan seting yang ideal untuk praktik pengembangan keterampilan literasi. Terakhir, aktivitas literasi memberikan fondasi penting bagi perkembangan literasi dan belajar sepanjang hayat (Eanes, 1997:55). Aktivitas literasi juga dapat menjadikan siswa sebagai pembaca yang efektif, penulis yang kompeten, pemikir yang kritis, dan pembelajar yang mandiri.
Guru yang memberi pengajaran dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan sendiri mengenai isi teks akan meningkatkan pembelajaran karena guru mendorong keaktifan siswa dengan melatih menyusun kembali teks dan membangun makna. Siswa yang dapat menjawab pertanyaannya sendiri akan dapat mengecek pemahamannya mengenai teks yang telah dibacanya (Palinscar, 2001). Melalui serangkaian proses pembelajaran yang kaya tersebut, diharapkan siswa akan dapat mengembangkan keterampilan berpikir dan sekaligus mendalami bahan ajar berbagai mata pelajaran yang sedang diikuti. Kedua hal tersebut sangat penting bagi siswa untuk keberhasilan belajarnya di sekolah. Dengan demikian, kegiatan menulis sebagai bagian dari aktivitas inti literasi perlu terus dikembangkan di sekolah melalui pembelajaran setiap mata pelajaran.
Agar tujuan tercapai, disarankan agar tugas-tugas (task) dan latihan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dijalankan secara bervariasi, berselang-seling, dan diperkaya, baik materi maupun kegiatannya. Harus disadari benar oleh guru bahwa kegiatan berbahasa itu tak terbatas sifatnya. Membaca artikel, buku, iklan, brosur; mendengarkan pidato, laporan, komentar, berita; menulis surat, laporan, karya sastra, telegram, mengisi blangko; berbicara dalam forum, mewawancarai, dan sebagainya adalah contoh betapa luasnya pemakaian bahasa Indonesia itu.
Gambaran tujuan dan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia di atas sejauh ini masih jauh terapannya di kelas riil sekolah. Harapan bahwa dengan pembelajaran bahasa Indonesia anak-anak dapat membaca dengan baik, menulis dengan lancar, dan berbicara dengan sopan, baik, dan berani, masih ‘jauh panggang dari api’. Sebagian besar, guru masih berkutat pada penyampaian teori yang tak relevan dengan kebutuhan berkomunikasi. Permasalahan yang dihadapi pengajaran bahasa Indonesia masih kompleks dan perlu pembinaan terus-menerus. Masukan-masukan yang berupa laporan yang berasal dari keadaan nyata di sekolah akan sangat berarti bagi penentu kebijakan.
Saat ini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa pertama bagi sebagian besar siswa di Indonesia. Artinya, ketika masuk sekolah, siswa telah terpajani oleh lingkungan berbahasa Indonesia. Tugas guru adalah meningkatkan kemampuan itu melalui kegiatan berbahasa Indonesia nyata, bukan mengajarkan ilmu tentang bahasa Indonesia. Hanya, yang terjadi kemudian adalah (1) guru lebih banyak menerangkan tentang bahasa (form-focus), (2) tata bahasa sebagai bahan yang diajarkan, (3) keterampilan berbahasa nyata kurang diperhatkan, (4) membaca dan menulis sebagai sesuatu yang diajarkan, bukan sebagai media berkomunikasi dan berekspresi.
Penekanan pembelajaran bahasa Indonesia hanya pada tata bahasa, yang relevansinya dengan kebutuhan berbahasa kurang. Murid hanya menghafal jenis kata, pengertian kalimat, fungsi-fungsi awalan, dan beragam peribahasa usang. Lalu pertanyaannya, manakah kemampuan membaca dan menulis kreatif yang seharusnya dikuasai siswa melalui pengajaran bahasa Indonesia?
Sebaiknya, pengajaran bahasa Indonesia dikembalikan pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu melatih siswa membaca sebanyak-banyaknya, menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi sebanyak-banyaknya. Misalnya, membaca berita, membaca cerpen, membaca iklan, menulis surat, menulis iklan baris, membuat laporan, mendengarkan berita, membacakan pengumuman, dan sejenisnya. Dengan demikian, PBI akan menjadi pelajaran yang menarik dan ‘berguna’. Jika tata bahasa harus diajarkan, sebenarnya hanya untuk menunjang kemampuan-kemampuan tersebut. Guru disarankan agar kembali berpegang pada sasaran tujuan pengajaran bahasa Indonesia, yaitu melatih siswa menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi berbahasa nyata. Materi-materi yang tingkat kebergunaannya rendah, seperti teori tata bahasa umum dan pengetahuan tentang tata bahasa sebaiknya dikurangi.
0 Comments
Post a Comment