Tulisan ini dimuat di Opini Kabar Priangan, 25 Februari 2015
Setiap tanggal 21 Februari, diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional yang ditetapkan oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). Tujuannya adalah untuk mempertahankan eksistensi bahasa daerah di setiap dunia agar tidak hilang dan punah. Sayangnya, hari istimewa ini tidak banyak yang mengetahuinya. Sehingga, dianggap sebagai hari yang biasa-biasa saja bagi kebanyakan orang. Seharusnya, hari itu dijadikan sebagai momentum khusus untuk menggunakan bahasa daerah (bahasa ibu) sehari penuh dengan dipandu oleh pemerintah daerah (Pemda) setempat. Berlaku bagi semua kalangan, baik karyawan perusahaan, pegawai negeri sipil, pekerja serabutan, dll. Pokoknya, seluruh masyarakat yang menempati daerah tersebut diwajibkan untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ibu setempat.
Bahasa ibu yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat, Khususnya Priangan Timur adalah Bahasa Sunda. Kini, bahasa ibu menjadi bahasa kedua setelah bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Bahkan, bisa saja menjadi bahasa ketiga setelah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Padahal, sejatinya bahasa ibu atau bahasa Sunda harus menjadi bahasa pertama di daerahnya sendiri. Namun, seiring perkembangan zaman bahasa tersebut perlahan-lahan tersingkirkan. Kerap kali kita menemukan anak-anak yang ketika berkomunikasi bersama orangtua atau kerabatnya, mempergunakan bahasa Indonesia. Memang tak dapat disalahkan, karena kebiasaan itu ditularkan oleh kedua orangtuanya dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama di keluarganya. Hal ini dikhawatirkan, bisa mengakibatkan bahasa Sunda terpinggirkan dan hilang diterjang oleh perkembangan zaman.
Penuturan bahasa sunda berbeda dengan bahasa nasional, dimana dalam bahasa sunda memiliki struktur bahasa yang dikelompokkan menjadi kelas-kelas sosial dan usia. Pengelompokkan tersebut dikenal dengan “Undak-usuk Basa”. Bahasa yang dipergunakan, disesuaikan dengan kondisi dan situasi artinya memperhitungkan tempat dan lawan bicara. Jika kita berbicara dengan anak-anak, tentunya bahasa sunda yang dipergunakan berbeda dengan bahasa yang digunakan kepada orangtua. Sehingga, dikenal ada bahasa yang halus dan bahasa yang kasar. Misalnya, kata rumah dalam bahasa Indonesia bisa disebutkan menjadi imah (bahasa sunda normal) dan bumi (bahasa sunda halus). Selain itu kata makan, dalam bahasa sunda terdiri dari neda, tuang, dahar, nyatu, dan lolodok.
Undak-usuk Basa inilah yang saat ini semakin memudar, tidak hanya berlaku bagi anak-anak dan remaja melainkan orangtua pun telah banyak yang mengalami kesulitan untuk memilah dan memilihnya. Seringkali, bahasa yang diucapkan kepada seseorang sudah tak mengenal lagi apakah itu diperuntukkan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua atau bukan. Kenyataannya, di kalangan remaja bahasa sunda yang dipakai saat ini kebanyakannya adalah bahasa yang kasar seperti sia dan maneh untuk menyebutkan kamu (bahasa Indonesia).
Beberapa alasan yang melatarbelakangi memudarnya penggunaan bahasa Sunda. Pertama, adanya rasa malu dan gengsi. Rasa ini timbul karena menggunakan bahasa Sunda dianggapnya “kampungan” atau orang yang berasal dari kampung. Dalam pikirannya, menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Asing dianggapnya lebih keren dan bermartabat di hadapan orang lain. Apalagi orang tersebut baru pulang merantau dari ibu kota, dengan percaya dirinya berbicara menggunakan bahasa ibu kota meskipun lawan bicaranya tetap menggunakan bahasa daerah. Kedua, kekhawatiran orangtua. Seringkali, penulis mendengar alasan dari orangtua kenapa dalam komunikasi utamanya dengan anak di keluarga sering menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah. Ternyata orangtua merasa khawatir, jika berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Sunda, anaknya akan mengeluarkan kata-kata yang kasar. Padahal, kata-kata kasar seringkali ditemukan anak dari hasil mengamati kemudian menirunya dari lingkungan sekitar seperti jalanan, terminal, dan tempat tongkrongan. Ketiga, munculnya bahasa alay. Diakui atau tidak, bahasa alay secara cepat mampu menarik perhatian kalangan anak muda dengan cepat. Bahasa ini, dengan mudahnya mendapatkan tempat di hati mereka dan menjadikan bahasa ini sebagai alat komunikasi bagi orang-orang yang gaul. Keempat, tidak adanya regenerasi secara turun-temurun. Putusnya rantai komunikasi penggunaan bahasa Sunda dari orangtua kepada anaknya menjadi faktor yang berbahaya. Pasalnya, jika di keluarganya tidak diperkenalkan sejak dini kepada anaknya, bisa jadi bahasa Sunda bagi anaknya dianggap sebagai bahasa yang asing.
Dengan demikian, sebelum bahasa Sunda mengalami kepunahan perlu dilakukan upaya-upaya untuk menyelamatkannya. Pertama, bahasa Sunda diwajibkan sebagai bahasa pengantar di sekolah. Hal ini mengingat bahwa peserta didik merupakan generasi penerus yang perlu diberikan pemahaman tentang bahasa Sunda. Kedua, menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa yang wajib digunakan dalam setiap komunikasi dengan orang lain, minimal satu minggu sekali. Seperti halnya, “Rebo Nyunda” atau Rabu Sunda yang dilakukan di Kota Bandung. Selain mewajibkan seluruh warga Kota Bandung memakai pakaian daerah khas sunda yang secara khusus untuk pegawai negeri sipil, juga dihimbau menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi dengan orang lain. Ketiga, menggiatkan pemberian penghargaan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Ajip Rosidi dalam memberikan penghargaan terhadap Sastra Rancage dan pemberian penghargaan terhadap Seni dan Kebudayaan Sunda yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat. Keempat, media cetak menyediakan rubrik yang khusus tentang penulisan artikel, cerita, dan sejenisnya yang menggunakan bahasa Sunda, seperti carita pondok (carpon), puisi, pantun, dll. Kelima, dalam keluarga budayakan kembali penggunaan bahasa Sunda.
Upaya yang terakhir ini merupakan upaya yang perlu diutamakan, pasalnya tidak dimungkiri di setiap keluarga terjadi kekhawatiran dan ketidakpahaman akan Undak-usuk Basa dari bahasa Sunda yang benar dan tepat. Sehingga, hal ini perlu mendapatkan bimbingan dari orang yang lebih memahami tentang penggunaan bahasa tersebut agar tidak terjadi kesalahan. Dan lingkungan keluarga adalah lingkungan yang berperan penting dalam mengenalkan dan melestarikan bahasa Sunda sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu yang dikenal oleh anak-anaknya.
Penulis juga menyadari, sebagai orang yang terlahir dari keturuan orang sunda dan hidup di daerah sunda telah mengalami pemudaran pengetahuan bahasa Sunda, terutama bahasa Sunda yang halus dan sesuai dengan undak-usuk basa. Oleh karena itu, agar bahasa Sunda sebagai bahasa ibu di daerah Jawa Barat, khususnya di Priangan Timur bisa dilestarikan dan terhindar dari kepunahan. Harus dilakukan sebuah kerjasama yang menyeluruh dan mengikat antara pemerintah dan semua warga masyarakat dalam upaya pelestarian bahasa Sunda sebagai ciri khas daerah yang berada di Provinsi Jawa Barat.
Bahasa ibu yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat, Khususnya Priangan Timur adalah Bahasa Sunda. Kini, bahasa ibu menjadi bahasa kedua setelah bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Bahkan, bisa saja menjadi bahasa ketiga setelah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Padahal, sejatinya bahasa ibu atau bahasa Sunda harus menjadi bahasa pertama di daerahnya sendiri. Namun, seiring perkembangan zaman bahasa tersebut perlahan-lahan tersingkirkan. Kerap kali kita menemukan anak-anak yang ketika berkomunikasi bersama orangtua atau kerabatnya, mempergunakan bahasa Indonesia. Memang tak dapat disalahkan, karena kebiasaan itu ditularkan oleh kedua orangtuanya dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama di keluarganya. Hal ini dikhawatirkan, bisa mengakibatkan bahasa Sunda terpinggirkan dan hilang diterjang oleh perkembangan zaman.
Penuturan bahasa sunda berbeda dengan bahasa nasional, dimana dalam bahasa sunda memiliki struktur bahasa yang dikelompokkan menjadi kelas-kelas sosial dan usia. Pengelompokkan tersebut dikenal dengan “Undak-usuk Basa”. Bahasa yang dipergunakan, disesuaikan dengan kondisi dan situasi artinya memperhitungkan tempat dan lawan bicara. Jika kita berbicara dengan anak-anak, tentunya bahasa sunda yang dipergunakan berbeda dengan bahasa yang digunakan kepada orangtua. Sehingga, dikenal ada bahasa yang halus dan bahasa yang kasar. Misalnya, kata rumah dalam bahasa Indonesia bisa disebutkan menjadi imah (bahasa sunda normal) dan bumi (bahasa sunda halus). Selain itu kata makan, dalam bahasa sunda terdiri dari neda, tuang, dahar, nyatu, dan lolodok.
Undak-usuk Basa inilah yang saat ini semakin memudar, tidak hanya berlaku bagi anak-anak dan remaja melainkan orangtua pun telah banyak yang mengalami kesulitan untuk memilah dan memilihnya. Seringkali, bahasa yang diucapkan kepada seseorang sudah tak mengenal lagi apakah itu diperuntukkan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua atau bukan. Kenyataannya, di kalangan remaja bahasa sunda yang dipakai saat ini kebanyakannya adalah bahasa yang kasar seperti sia dan maneh untuk menyebutkan kamu (bahasa Indonesia).
Beberapa alasan yang melatarbelakangi memudarnya penggunaan bahasa Sunda. Pertama, adanya rasa malu dan gengsi. Rasa ini timbul karena menggunakan bahasa Sunda dianggapnya “kampungan” atau orang yang berasal dari kampung. Dalam pikirannya, menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Asing dianggapnya lebih keren dan bermartabat di hadapan orang lain. Apalagi orang tersebut baru pulang merantau dari ibu kota, dengan percaya dirinya berbicara menggunakan bahasa ibu kota meskipun lawan bicaranya tetap menggunakan bahasa daerah. Kedua, kekhawatiran orangtua. Seringkali, penulis mendengar alasan dari orangtua kenapa dalam komunikasi utamanya dengan anak di keluarga sering menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah. Ternyata orangtua merasa khawatir, jika berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Sunda, anaknya akan mengeluarkan kata-kata yang kasar. Padahal, kata-kata kasar seringkali ditemukan anak dari hasil mengamati kemudian menirunya dari lingkungan sekitar seperti jalanan, terminal, dan tempat tongkrongan. Ketiga, munculnya bahasa alay. Diakui atau tidak, bahasa alay secara cepat mampu menarik perhatian kalangan anak muda dengan cepat. Bahasa ini, dengan mudahnya mendapatkan tempat di hati mereka dan menjadikan bahasa ini sebagai alat komunikasi bagi orang-orang yang gaul. Keempat, tidak adanya regenerasi secara turun-temurun. Putusnya rantai komunikasi penggunaan bahasa Sunda dari orangtua kepada anaknya menjadi faktor yang berbahaya. Pasalnya, jika di keluarganya tidak diperkenalkan sejak dini kepada anaknya, bisa jadi bahasa Sunda bagi anaknya dianggap sebagai bahasa yang asing.
Dengan demikian, sebelum bahasa Sunda mengalami kepunahan perlu dilakukan upaya-upaya untuk menyelamatkannya. Pertama, bahasa Sunda diwajibkan sebagai bahasa pengantar di sekolah. Hal ini mengingat bahwa peserta didik merupakan generasi penerus yang perlu diberikan pemahaman tentang bahasa Sunda. Kedua, menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa yang wajib digunakan dalam setiap komunikasi dengan orang lain, minimal satu minggu sekali. Seperti halnya, “Rebo Nyunda” atau Rabu Sunda yang dilakukan di Kota Bandung. Selain mewajibkan seluruh warga Kota Bandung memakai pakaian daerah khas sunda yang secara khusus untuk pegawai negeri sipil, juga dihimbau menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi dengan orang lain. Ketiga, menggiatkan pemberian penghargaan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Ajip Rosidi dalam memberikan penghargaan terhadap Sastra Rancage dan pemberian penghargaan terhadap Seni dan Kebudayaan Sunda yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat. Keempat, media cetak menyediakan rubrik yang khusus tentang penulisan artikel, cerita, dan sejenisnya yang menggunakan bahasa Sunda, seperti carita pondok (carpon), puisi, pantun, dll. Kelima, dalam keluarga budayakan kembali penggunaan bahasa Sunda.
Upaya yang terakhir ini merupakan upaya yang perlu diutamakan, pasalnya tidak dimungkiri di setiap keluarga terjadi kekhawatiran dan ketidakpahaman akan Undak-usuk Basa dari bahasa Sunda yang benar dan tepat. Sehingga, hal ini perlu mendapatkan bimbingan dari orang yang lebih memahami tentang penggunaan bahasa tersebut agar tidak terjadi kesalahan. Dan lingkungan keluarga adalah lingkungan yang berperan penting dalam mengenalkan dan melestarikan bahasa Sunda sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu yang dikenal oleh anak-anaknya.
Penulis juga menyadari, sebagai orang yang terlahir dari keturuan orang sunda dan hidup di daerah sunda telah mengalami pemudaran pengetahuan bahasa Sunda, terutama bahasa Sunda yang halus dan sesuai dengan undak-usuk basa. Oleh karena itu, agar bahasa Sunda sebagai bahasa ibu di daerah Jawa Barat, khususnya di Priangan Timur bisa dilestarikan dan terhindar dari kepunahan. Harus dilakukan sebuah kerjasama yang menyeluruh dan mengikat antara pemerintah dan semua warga masyarakat dalam upaya pelestarian bahasa Sunda sebagai ciri khas daerah yang berada di Provinsi Jawa Barat.
0 Comments
Post a Comment