Tulisan ini pernah dimuat di Opini Kabar Priangan, 1 April 2015
Oleh: Dede Taufik, S.Pd.
Tugas utama seorang guru di sekolah adalah mengajar dan mendidik. Mengajar diartikan sebagai segenap aktivitas kompleks yang dilakukan guru dalam mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar (Nasution, 1982:8). Sementara mendidik diartikan sebagai usaha yang lebih ditujukan kepada pengembangan budi pekerti, semangat, kecintaan, rasa kesusilaan, ketakwaan, dll. (Prof. Darji Damodiharjo).
Selain tugas utama tersebut, ternyata seorang guru diwajibkan untuk membuat karya tulis ilmiah dan mempublikasikannya. Kewajiban ini harus dipenuhi oleh seorang guru pada jenjang pendidikan anak usia dini, dasar dan menengah, terutama guru yang berkeinginan naik jenjangan golongan III-b ke atas. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN & RB) Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Dalam Permen tersebut disebutkan beberapa jenis publikasi ilmiah, diantaranya: Penelitian Tindakan Kelas (PTK), jurnal ilmiah, presentasi pada forum ilmiah, dan pembuatan buku pelajaran. Karya tulis ini penting sekali untuk ditempuh bagi seorang guru, apabila ingin naik golongan. Sebelumnya, publikasi ilmiah diperuntukkan bagi guru yang ingin naik golongan dari IV-a ke IV-b dan mengakibatkan kebanyakan golongan guru bertumpuk di golongan IV-a. Sementara saat ini, publikasi ilmiah dimulai dari III-b ke atas, sehingga memunculkan pandangan kalau publikasi ilmiah ke depannya akan menjadi sebuah peluang bagi guru untuk berkarir. Namun juga bisa sebaliknya, yaitu menjadi ancaman bagi karir guru.
Pandangan yang mengasumsikan kalau publikasi ilmiah akan menjadi ancaman terhadap karir guru adalah bercermin dari cetaknya karir guru pada golongan IV-a. Hal itu didukung oleh berbagai alasan, khususnya untuk guru sekolah dasar (SD) sebagai guru rombongan semua mata pelajaran sekaligus menjadi wali kelas. Banyaknya administrasi kelas dan sekolah, menjadi alasan pertama kenapa para guru enggan untuk menulis karya ilmiah untuk meneruskan ke golongan berikutnya. Selain itu, masih banyak guru yang merasa kebingungan tentang bagaimana cara menulis karya ilmiah yang baik dan benar karena di sekolah tidak diajarkan terlebih dahulu oleh pihak dinas pendidikan yang mewadahinya. Padahal, jika publikasi ilmiah tersebut dijadikan sebagai syarat kenaikan golongan guru. Semestinya, terlebih dahulu dilakukan pendidikan dan pelatihan penulisan karya ilmiah terhadap seluruh guru di semua jenjang pendidikan. Kemudian, diberikan pula pemahaman tentang strategi yang perlu ditempuh untuk mempublikasikan karya tulis tersebut.
Penulis sendiri, sebagai seseorang yang memandang publikasi ilmiah merupakan peluang yang sangat besar untuk berkarir. Adapun yang menjadi alasan kenapa penulis beranggapan bahwa publikasi ilmiah itu sebagai peluang. Pertama, Seorang guru akan termotivasi kembali untuk membuka cakrawalanya. Tentunya, dengan mendekatkan diri pada kebiasaan membaca. Pasalnya, kegiatan membaca dapat mempermudah diri untuk menuangkan gagasan ke dalam bentuk tulisan. Ada pula yang mengatakan jika kedua kompetensi tersebut tidak dapat dipisahkan karena satu sama lainnya saling berhubungan. Semakin banyak membaca, maka akan semakin banyak gagasan-gagasan yang bisa dituliskan.
Kedua, sebagai bentuk pengembangan professionalisme guru. Pada hakekatnya, guru professional adalah guru yang tidak pernah berhenti belajar dan terus berusaha meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Keprofessional guru perlu dikembangkan secara berkelanjutan artinya dilakukan sesuai dengan kebutuhan guru dan dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini, seseorang yang berprofesi sebagai guru diharapkan bisa melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil pembelajaran, serta menganalisis berbagai permasalahan yang seringkali terjadi untuk dicarikan pemecahannya. Evaluasi dan permasalahan itu kemudian dituliskan melalui langkah-langkah dalam PTK atau dalam bentuk artikel, sehingga jadilah sebuah karya tulis.
Sesungguhnya, kegiatan menulis bagi guru adalah sebuah keniscayaan. Sungguh mengkhawatirkan, apabila terdengar kalimat “saya mah gak bisa nulis, da aku mah apa atuh” yang diucapkan oleh seorang guru. Pasalnya, dalam menjalankan rutinitasnya sebagai guru, tidak terlepas dari tulisan-tulisan. Baik tulisan yang berada dalam buku mata pelajaran, maupun buku yang menunjang pembelajaran. Selain itu, berbagai permasalahan seringkali ditemukan di dalam kelas maupun di lingkungan sekolah. Yang apabila dituliskan, bisa menjadi sebuah karya ilmiah yang sangat luar biasa. Tidak perlu dilakukan dengan penelitian besar dan berbagai teori yang ruwet, namun cukup melalui penelitian sederhana dengan dibantu oleh guru lain sebagai rekan peneliti.
Guru senior, dengan pengalaman dan ide atau gagasan yang sangat banyak. Seharusnya, mampu menghasilkan karya tulis yang tidak sedikit pula. Namun kenyataannya tidaklah demikian, justru kebanyakan dari mereka merasa kesulitan untuk memulai kegiatan tulis-menulis. Padahal, ketika diajak berdiskusi seputar pengalamannya menjadi guru. Begitu jelas paparan yang diberikannya, kalau menurut bahasa orang sunda adalah “éntép seureuh tur malapah gedang cumaritana”. Dari ilustrasi tersebut, berarti kegiatan tulis-menulis perlu dilatih dan dikembangkan, serta didukung oleh wawasan luas melalui kegiatan membaca dan berdiskusi.
Tanpa adanya pelatihan, pengembangan, dan membaca, kegiatan menulis tidak akan berjalan dengan lancar. Oleh karena itu, melalui Permen PAN & RB merupakan langkah awal sebagai kewajiban akademik yang harus ditempuh oleh seorang guru meskipun sifatnya memaksa. Tetapi jika kita pikirkan lebih jauh, karya tulis itu bisa menghidupkan penulis selamanya. Dalam artian, meskipun penulisnya telah meninggal dunia, hasil tulisannya masih bisa memberikan manfaat bagi orang lain yang membacanya. Pepatah mengatakan, tidak akan ada seorang ahli yang dikenang ilmunya hingga saat ini, tanpa ada tulisan yang mengabadikannya. Dari situ dapat disimpulkan, bahwa publikasi ilmiah juga berpeluang besar untuk menjadikan penulisnya dapat dikenang oleh orang lain, selain berfungsi sebagai syarat kenaikan golongan. Dan diharapkan, tidak menjadi suatu ancaman yang berarti bagi karir guru karena guru merupakan sebuah profesi yang harus dihargai dengan tugas utama yang tidak ringan yaitu menjadikan siswa memiliki wawasan luas dan memiliki akhlak mulia.
Dalam Permen tersebut disebutkan beberapa jenis publikasi ilmiah, diantaranya: Penelitian Tindakan Kelas (PTK), jurnal ilmiah, presentasi pada forum ilmiah, dan pembuatan buku pelajaran. Karya tulis ini penting sekali untuk ditempuh bagi seorang guru, apabila ingin naik golongan. Sebelumnya, publikasi ilmiah diperuntukkan bagi guru yang ingin naik golongan dari IV-a ke IV-b dan mengakibatkan kebanyakan golongan guru bertumpuk di golongan IV-a. Sementara saat ini, publikasi ilmiah dimulai dari III-b ke atas, sehingga memunculkan pandangan kalau publikasi ilmiah ke depannya akan menjadi sebuah peluang bagi guru untuk berkarir. Namun juga bisa sebaliknya, yaitu menjadi ancaman bagi karir guru.
Pandangan yang mengasumsikan kalau publikasi ilmiah akan menjadi ancaman terhadap karir guru adalah bercermin dari cetaknya karir guru pada golongan IV-a. Hal itu didukung oleh berbagai alasan, khususnya untuk guru sekolah dasar (SD) sebagai guru rombongan semua mata pelajaran sekaligus menjadi wali kelas. Banyaknya administrasi kelas dan sekolah, menjadi alasan pertama kenapa para guru enggan untuk menulis karya ilmiah untuk meneruskan ke golongan berikutnya. Selain itu, masih banyak guru yang merasa kebingungan tentang bagaimana cara menulis karya ilmiah yang baik dan benar karena di sekolah tidak diajarkan terlebih dahulu oleh pihak dinas pendidikan yang mewadahinya. Padahal, jika publikasi ilmiah tersebut dijadikan sebagai syarat kenaikan golongan guru. Semestinya, terlebih dahulu dilakukan pendidikan dan pelatihan penulisan karya ilmiah terhadap seluruh guru di semua jenjang pendidikan. Kemudian, diberikan pula pemahaman tentang strategi yang perlu ditempuh untuk mempublikasikan karya tulis tersebut.
Penulis sendiri, sebagai seseorang yang memandang publikasi ilmiah merupakan peluang yang sangat besar untuk berkarir. Adapun yang menjadi alasan kenapa penulis beranggapan bahwa publikasi ilmiah itu sebagai peluang. Pertama, Seorang guru akan termotivasi kembali untuk membuka cakrawalanya. Tentunya, dengan mendekatkan diri pada kebiasaan membaca. Pasalnya, kegiatan membaca dapat mempermudah diri untuk menuangkan gagasan ke dalam bentuk tulisan. Ada pula yang mengatakan jika kedua kompetensi tersebut tidak dapat dipisahkan karena satu sama lainnya saling berhubungan. Semakin banyak membaca, maka akan semakin banyak gagasan-gagasan yang bisa dituliskan.
Kedua, sebagai bentuk pengembangan professionalisme guru. Pada hakekatnya, guru professional adalah guru yang tidak pernah berhenti belajar dan terus berusaha meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Keprofessional guru perlu dikembangkan secara berkelanjutan artinya dilakukan sesuai dengan kebutuhan guru dan dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini, seseorang yang berprofesi sebagai guru diharapkan bisa melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil pembelajaran, serta menganalisis berbagai permasalahan yang seringkali terjadi untuk dicarikan pemecahannya. Evaluasi dan permasalahan itu kemudian dituliskan melalui langkah-langkah dalam PTK atau dalam bentuk artikel, sehingga jadilah sebuah karya tulis.
Sesungguhnya, kegiatan menulis bagi guru adalah sebuah keniscayaan. Sungguh mengkhawatirkan, apabila terdengar kalimat “saya mah gak bisa nulis, da aku mah apa atuh” yang diucapkan oleh seorang guru. Pasalnya, dalam menjalankan rutinitasnya sebagai guru, tidak terlepas dari tulisan-tulisan. Baik tulisan yang berada dalam buku mata pelajaran, maupun buku yang menunjang pembelajaran. Selain itu, berbagai permasalahan seringkali ditemukan di dalam kelas maupun di lingkungan sekolah. Yang apabila dituliskan, bisa menjadi sebuah karya ilmiah yang sangat luar biasa. Tidak perlu dilakukan dengan penelitian besar dan berbagai teori yang ruwet, namun cukup melalui penelitian sederhana dengan dibantu oleh guru lain sebagai rekan peneliti.
Guru senior, dengan pengalaman dan ide atau gagasan yang sangat banyak. Seharusnya, mampu menghasilkan karya tulis yang tidak sedikit pula. Namun kenyataannya tidaklah demikian, justru kebanyakan dari mereka merasa kesulitan untuk memulai kegiatan tulis-menulis. Padahal, ketika diajak berdiskusi seputar pengalamannya menjadi guru. Begitu jelas paparan yang diberikannya, kalau menurut bahasa orang sunda adalah “éntép seureuh tur malapah gedang cumaritana”. Dari ilustrasi tersebut, berarti kegiatan tulis-menulis perlu dilatih dan dikembangkan, serta didukung oleh wawasan luas melalui kegiatan membaca dan berdiskusi.
Tanpa adanya pelatihan, pengembangan, dan membaca, kegiatan menulis tidak akan berjalan dengan lancar. Oleh karena itu, melalui Permen PAN & RB merupakan langkah awal sebagai kewajiban akademik yang harus ditempuh oleh seorang guru meskipun sifatnya memaksa. Tetapi jika kita pikirkan lebih jauh, karya tulis itu bisa menghidupkan penulis selamanya. Dalam artian, meskipun penulisnya telah meninggal dunia, hasil tulisannya masih bisa memberikan manfaat bagi orang lain yang membacanya. Pepatah mengatakan, tidak akan ada seorang ahli yang dikenang ilmunya hingga saat ini, tanpa ada tulisan yang mengabadikannya. Dari situ dapat disimpulkan, bahwa publikasi ilmiah juga berpeluang besar untuk menjadikan penulisnya dapat dikenang oleh orang lain, selain berfungsi sebagai syarat kenaikan golongan. Dan diharapkan, tidak menjadi suatu ancaman yang berarti bagi karir guru karena guru merupakan sebuah profesi yang harus dihargai dengan tugas utama yang tidak ringan yaitu menjadikan siswa memiliki wawasan luas dan memiliki akhlak mulia.
0 Comments
Post a Comment