Contoh Tulisan Forum Guru Pikiran Rakyat: Pudarnya Bahasa Daerah di Era Modern
Oleh: Dede Taufik, S.Pd.
“Belajar Bahasa Daerah Harus Dimulai dari Rumah”, itulah judul artikel pada rubrik pendidikan pikiran rakyat (31/07/2014). Tentunya sebagai praktisi pendidikan merasa tergugah untuk turut serta menganalisis kebenarannya tentang memudarnya penggunaan bahasa daerah di kalangan masyarakat akibat tergerus oleh perkembangan zaman yang semakin modern.
Dr. Gufran Ali Ibrahim, sebagai pakar sosiolinguistik dari Universitas Khairun Ternate menyatakan bahwa terdapat dua faktor penyebab utama kepunahan bahasa daerah. Pertama, para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anak mereka dan tidak lagi menggunakannya di rumah. Kedua, ini merupakan pilihan sebagian masyarakat untuk tidak menggunakan bahasa daerah dalam ranah komunikasi sehari-hari.
Selain itu, Dendy Sugono juga pernah menyatakan kekhawatirannya terkait memudarnya bahasa daerah. Salah satu penyebab pudarnya bahasa daerah, ternyata adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Hal itu terjadi semenjak didengungkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda tahun 1928. Peristiwa tersebut secara tidak langsung mengancam para penutur bahasa daerah saat itu, dengan alasan karena mereka menjadi enggan untuk mengajarkan bahasa daerah kepada keturunannya.
Di era modernisasi seperti sekarang ini, dunia kerja turut andil menuntut sumber daya manusia yang cerdas, kreatif, inovatif, dan mampu berdaya saing baik lokal, nasional, maupun secara global. Dengan adanya tuntutan yang serius tersebut, tanpa disadari telah memudarkan dan menggeser bahasa daerahnya sendiri. Sehingga mereka lupa jika bahasa daerah merupakan asset yang sangat berharga sebagai ciri khas dari daerahnya sendiri.
M. Abdul Khak, seorang Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat mengutarakan hasil penelitiannya yang dilakukan di Sembilan kabupaten/ kota di Jawa Barat, yakni Bekasi, Depok, Bogor, Cianjur, Bandung, Garut, Majalengka, Purwakarta, dan Tasikmalaya. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 900 responden dari pasangan suami istri yang bersuku Sunda. Hanya 42% yang masih mengajarkan bahasa Sunda kepada anaknya, alasannya karena pertimbangan kemudahan informasi untuk anak dan menghindari bahasa Sunda yang kasar.
Penulis pun mengakui sebagai salah seorang yang bersuku Sunda, namun tidak fasih dalam berbahasa Sunda. Terkadang sering menuturkan bahasa yang kurang tepat penggunaannya. Apalagi untuk menggunakan bahasa Sunda yang halus. Sejatinya, sebagai orang yang bersuku Sunda harus bisa menguasai undak usuk basa dengan baik dan benar sebagai bentuk pelestarian bahasa daerah.
Oleh karena itu, penulis sangat setuju dengan apa yang diutarakan oleh M. Abdul Khak dalam melestarikan bahasa daerah di lingkungan masyarakat dengan memulai dari lingkungan keluarga. Dalam hal ini, orang tua harus berperan penting untuk terus mengajarkan bahasa daerah kepada anaknya dan mempergunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tua jangan pernah merasa malu untuk berkomunikasi menggunakan bahasa daerah dengan anaknya dimanapun sedang berada. Tengok saja sang komedian Sule misalnya, meskipun sedang bermain di tayangan telivisi nasional. Tetap saja seringkali mengutarakan bahasa Sunda sebagai bahan guyonan dan itu mampu membuat para penonton tertawa. Selain Sule, Shoimah juga sebagai artis kondang dari Jawa tak canggung-canggung untuk menuturkan bahasa daerahnya walaupun dengan logat yang kental.
Dengan demikian, M. Abdul Khak menegaskan bahwa para akademisi dan pemerintah harus turun tangan dalam pelestarian bahasa daerah. Pelestariannya dilakukan dengan menyusun perencanaan status melalui peraturan daerah, perencanaan korpus dengan menyusun kamus atau tata bahasa yang diajarkan, perencanaan perolehan tentang bagaimana bahasa itu diajarkan, dan perencaan prestise yaitu bagaimana agar penggunaan bahasa daerah menjadi suatu kebanggaan.
Hal tersebut perlu menjadi sebuah pertimbangan, agar bahasa daerah tidak mengalami kepunahan seperti dinosaurus yang tak mampu mempertahankan keturunannya hingga akhirnya punah ditelan alam. Meski tuntunan zaman yang semakin modernisasi, jangan sampai bahasa daerah dikorbankan. Lebih baik banyak menguasai bahasa, yakni bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa internasional. Dengan begitu, kita lebih mampu untuk bersaing dengan bangsa yang lain.
Tulisan ini dimuat di Forum Guru Pikiran Rakyat, 25 Agustus 2014
0 Comments
Post a Comment