Contoh Tulisan Forum Guru Pikiran Rakyat: Antara Sertifikasi dan Perceraian Guru
Penulis : Dede Taufik, S.Pd.
Menurut PP Nomor 62 Tahun 2013 Tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Dalam Rangka Penataan dan Pemerataan Guru, Sertikasi merupakan proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru. Guru yang telah memenuhi sertifikasi berhak mendapatkan tunjangan profesi. Tunjangan profesi merupakan tunjangan yang diberikan kepada guru sesuai dengan sertifikat profesinya dan pemenuhan jam mengajar.
Sertifikasi dan Perceraian |
Penulis : Dede Taufik, S.Pd.
Menurut PP Nomor 62 Tahun 2013 Tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Dalam Rangka Penataan dan Pemerataan Guru, Sertikasi merupakan proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru. Guru yang telah memenuhi sertifikasi berhak mendapatkan tunjangan profesi. Tunjangan profesi merupakan tunjangan yang diberikan kepada guru sesuai dengan sertifikat profesinya dan pemenuhan jam mengajar.
Mengutip berita (Tribun Jabar, 25/03/2014), jumlah penceraian PNS di Ciamis selama dua tahun terakhir, tiap bulan rata-rata sepuluh rumah tangga bubar dalam artian kandas dengan perceraian. Data dari Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah (BKDD) Ciamis, terdapat 99 PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang bercerai pada tahun 2013, terdiri dari 63 PNS perempuan dan 36 PNS laki-laki dengan persentase sekitar 75% guru SD, sedangkan pada bulan Januari 2014 ada 10 PNS yang bercerai, dan 10 PNS juga bercerai pada bulan Februari 2014.
Apa penyebab perceraian tersebut? Mengapa dapat menimbulkan perceraian? Salah satu jawabannya adalah sertifikasi guru. Guru perempuan yang telah bersertifikasi mendapatkan tunjangan sertifikasi, sehingga pendapatannya pun meningkat melebihi pendapatan suaminya.
Dengan merasa diri memiliki pendapatan atau penghasilan yang lebih tinggi, tidak sedikit dari mereka menyepelekan dan tidak menghormati suami sebagai kepala keluarga dan imam di dalam rumah tangga. Padahal berdasarkan pandangan Islam, yang berhak mencari nafkah adalah sang suami dengan besaran nafkah disesuaikan sesuai kebutuhan dan kondisi suami.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah “Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim 2137). Dan diterjemahkan oleh Ibnu Katsir “maksudnya, para istri mempunyai hak diberi nafkah oleh suaminya yang seimbang dengan hak suami yang diberikan oleh istrinya, maka hendaklah masing- masing menunaikan kewajibannya dengan cara yang makruf, dan hal itu mencakup kewajiban suami memberi nafkah istrinya, sebagaimana hak- hak lainnya.” (Tafsir al-Qur’anil Adhim 1/272).
Kasus perceraian yang terjadi di kalangan guru PNS selain disebabkan oleh kesenjangan ekonomi antara pendapatan dirinya dengan suami, disebabkan pula oleh faktor lain, seperti sudah tidak ada lagi kecocokan rumah tangga sehingga menghilangkan rasa keharmonisan didalamnya dan bahkan disebabkan oleh kehadiran orang ketiga. Dengan terjadinya ketidakcocokan dan kehadiran orang ketiga, mengakibatkan kondisi dan suasana di dalam keluarga menjadi tidak harmonis. Dari masing-masing individu bersikap dingin, sehingga suasana menjadi hambar. Sekalinya berbicara, suasana menjadi gerah penuh dengan keributan dan tidak sedikit terlepas dari kontrol emosi sehingga pertengkaran tersebut mengambil jalan yang tak seharusnya diambil yaitu perceraian.
Seharusnya, sebagai manusia yang berpendidikan sebelum melakukan suatu tindakan atau pengambilan keputusan harus dimusyawarahkan terlebih dahulu. Baik dan buruknya harus dipertimbangkan sesuai logika dan akal pikir yang sehat dengan menggunakan kepala dingin, apalagi dari mereka yang menggugat cerai sudah berusia 45 tahun bahkan ada yang berusia 56 tahun. Tentunya dengan seusia mereka seharusnya bukan hanya mengandalkan nafsu belaka melainkan mengandalkan akal sehat.
Patut disayangkan kasus perceraian yang terjadi di kalangan guru PNS tersebut, karena guru merupakan salah satu tokoh masyarakat yang dijadikan sebagai panutan dan tauladan bagi masyarakat. Sesuai dengan Bahasa Kirata guru merupakan sosok yang “digugu dan ditiru”. Perilaku guru harus memberikan teladan yang baik bagi masyarakat, terutama bagi peserta didik, sehingga patut untuk “digugu dan ditiru”.
Guru sebagai pendidik di sekolah sekaligus merupakan orang tua kedua setelah orang tua kandungnya, harus bisa memberikan didikan yang positif terhadap perkembangan siswa. Perilaku siswa yang relatif meniru tingkah laku orang dew@sa yang berada di sekelilingnya, dikhawatirkan terkena dampak di kemudian hari setelah mereka beranjak dew@sa.
Ket : Tulisan ini dimuat di Forum Guru Pikiran Rakyat, 27 Maret 2014
0 Comments
Post a Comment