Contoh Opini Galamedia: Selamatkan Generasi Bangsa
Penulis : Dede Taufik, S.Pd.
NadiGuru-Saat ini, warga masyarakat diresahkan oleh aksi komplotan begal yang disertai dengan kekerasan dan senjata tajam. Aksi ini, menjadi momok menakutkan di jalanan bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya wilayah Jabodetabek. Berdasarkan informasi dari beberapa media, sebagian para komplotan begal masih berada di usia ABG atau remaja. Hal ini, tentunya harus menjadi bahan pemikiran bagi kita bersama untuk segera mengantisipasi dan mencegah aksi tersebut berkelanjutan. Sejatinya, para remaja merupakan generasi bangsa sebagai aset paling berharga untuk kemajuan pada masa mendatang.
Harus diakui, pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla merupakan teguran keras bagi dunia pendidikan. Dimana, beliau menyatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia sekarang ini dinilainya ada yang salah. Pendidikan itu ada tiga aspek, yaitu aspek keluarga, aspek sekolah, dan aspek lingkungan. Jadi, pendidikan bukan sama dengan sekolah, melainkan harus mencakup aspek ketiga-tiganya (Kompas, 2/3/2015).
Pada dasarnya, penulis sependapat dengan apa yang dinyatakan oleh Wakil Presiden tersebut. Kenyataannya, memang masih kebanyakan orang memandang bahwa sekolah adalah satu-satunya wahana untuk pendidikan. Sehingga, para orangtua memercayakan sepenuhnya perkembangan anaknya terhadap sekolah. Ketika muncul suatu permasalahan, sekolah menjadi sasaran yang disalahkan karena dianggap tidak bisa mendidik anaknya.
Padahal, apabila mengkalkulasikan waktu efektifitas di sekolah hanya menghabiskan waktu sekitar lima hingga enam jam, terkecuali sekolah fullday bisa mencapai sembilan jam. Dengan begitu, waktu yang tersisa bagi siswa kebanyakannya berada dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Tak adil, apabila menjadikan sekolah sebagai kambing hitam atas terjadinya kenakalan remaja, khususnya dalam aksi komplotan begal. Pasalnya, lingkungan yang lain pun turut serta memengaruhi perkembangan siswa.
Namun, bukan berarti sekolah juga harus mencuci tangan atas peristiwa yang sangat mengkhawatirkan ini. Alangkah bijaknya, apabila sekolah lebih merekatkan diri menjalin hubungan harmonis dengan para orangtua dan tokoh masyarakat. Saling memberikan informasi, bisa menjadi suatu alternatif untuk mencegah tumbuh kembangnya kenakalan remaja. Dalam hal ini, ketiga aspek pendidikan saling melakukan kerjasama untuk menyelamatkan generasi bangsa yang kian hari semakin mengkhawatirkan.
Apabila dianalisis, pernyataan dari Wakil Presiden tersebut berkenaan dengan aspek pendidikan. Sebenarnya sejalan dengan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Dimana, Ki Hajar Dewantara menyebutnya sebagai tripusat pendidikan. Pertama, lingkungan keluarga yang dipandang sebagai pendidikan yang pertama dan utama bagi seorang anak. alasannya, sebelum anak mengenal lingkungan yang lain. Terlebih dahulu, anak dibesarkan dan dikembangkan karakteristiknya dalam lingkungan keluarga oleh kedua orangtuanya.
Orangtua yang membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang, pasti akan terlihat berbeda dengan orangtua yang membesarkannya dengan kekerasan. Pasalnya, masa anak-anak disebut sebagai masa golden age (masa keemasan). Artinya, pada masa ini anak akan cepat menangkap apa yang diberikan oleh lingkungan sekitar. Tentunya, dengan cara memperhatikan apa yang mereka lihat dan mereka dengar, kemudian melakukan peniruan sebagai suatu kebenaran baginya.
Celakanya, apabila rangsangan yang mereka dapatkan berupa kekerasan di waktu kecil. Mereka, bisa tumbuh menjadi seseorang yang kasar dan susah diatur ketika menginjak remaja. Oleh karena itu, orangtua jangan merasa heran apabila mendapatkan anak yang menjadi kasar dan susah diatur ketika remaja. Akan tetapi, harus melakukan introfeksi diri tentang perilaku-perilaku yang telah ditularkan kepada anak mereka sewaktu masih berada dalam masa usia keemasan. Setelah itu, barulah melakukan pendekatan-pendekatan kepada anak sebagai upaya pencegahannya.
Disadari atau tidak, kenakalan remaja bisa terjadi akibat hubungan antara anak dan orangtua yang tidak harmonis. Apalagi, bagi anak-anak yang mengalami broken home dan luput dari perhatian kedua orangtuanya. Mereka akan mencari bentuk eksistensi diri, memperlihatkan bahwa mereka sebenarnya ada dan ingin mendapatkan perhatian. Sayangnya, hanya sedikit dari eksistensi diri mereka yang mengarah pada hal-hal positif, seperti menjadi siswa berprestasi di sekolah. Kebanyakannya, mengarah pada hal-hal negatif seperti kenakalan remaja yang saat ini menjadi buah bibir dari kalangan masyarakat dan media massa.
Kedua, lingkungan sekolah yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan formal. Dengan didasari oleh tanggung jawab formal kelembagaan, tanggung jawab keilmuan, dan tanggung jawab fungsional. Untuk memperlancarkan tanggung jawab sekolah tersebut, diperlukan guru yang berkualitas dan profesional. Guru yang mampu mendidik seluruh siswanya menjadi manusia yang memiliki akhlak mulia dan beriman, serta taqwa kepada Tuhan yang maha esa. Selain itu, guru juga harus piawai dalam mengajar untuk menjadikan seluruh siswanya memiliki kompetensi akademik (kognitif) sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masa kini.
Idealnya, dalam menjalankan tugasnya tersebut guru bertindak layaknya sebagai orangtua kedua bagi siswa setelah kedua orangtuanya. Mendidik dan mengajar, dengan rasa penuh kasih sayang dan kecintaan, serta memberikan perhatian secara menyeluruh terhadap siswa. tanpa membedakan anak cerdas maupun anak lamban belajar, anak orang kaya maupun miskin, dan anak pejabat maupun masyarakat biasa. Semuanya adalah sama, siswa yang perlu mendapatkan perhatian dan bimbingan secara intensif dari guru.
Ketiga, lingkungan masyarakat sebagai pendidikan di luar pendidikan keluarga dan sekolah. Lingkungan ini, bisa memberikan pengaruh yang bersifat positif maupun negatif terhadap perkembangan seseorang. Pengaruh positif, yaitu pengaruh yang mengarah pada kebaikan dirinya dan juga orang lain. Sementara pengaruh negatif, yaitu pengaruh yang mengarah pada hal-hal yang bisa merugikan dirinya dan juga orang lain. Dalam hal ini, memilih lingkungan bergaul bagi seseorang merupakan suatu keharusan. Bukan untuk membeda-bedakan teman dalam bergaul, melainkan menyelamatkan diri dari perilaku-perilaku yang tidak diinginkan. Apalagi, perilaku tersebut bisa membawanya berurusan dengan jalur hukum seperti kenakalan remaja dalam bentuk aksi komplotan begal.
Banyak hal lingkungan masyarakat yang bisa memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan seorang anak (pelajar). Lingkungan itu diantaranya, Jurnalistik pelajar, Ikatan Remaja Masjid (Ikrema), Pramuka, dll. Semuanya, bertujuan untuk menciptakan generasi bangsa agar bisa menemukan jati dirinya. Untuk saling menghargai antarsesama dan mengembangkan potensi kepribadianya.
Dengan terjalinnya hubungan harmonis dan saling memberi dukungan antara ketiga aspek pendidikan atau tripusat pendidikan tersebut. Diharapkan menjadi langkah awal untuk menyelamatkan generasi bangsa dari perilaku-perilaku yang tidak diinginkan. Sehingga, pada masa mendatang generasi bangsa Indonesia akan mampu membawa negeri tercinta ini menuju negeri yang dihormati dunia. Kemudian, menjadi kado terindah dalam peringatan seratus tahun Indonesia merdeka pada 2045 mendatang. Semoga...
Harus diakui, pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla merupakan teguran keras bagi dunia pendidikan. Dimana, beliau menyatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia sekarang ini dinilainya ada yang salah. Pendidikan itu ada tiga aspek, yaitu aspek keluarga, aspek sekolah, dan aspek lingkungan. Jadi, pendidikan bukan sama dengan sekolah, melainkan harus mencakup aspek ketiga-tiganya (Kompas, 2/3/2015).
Pada dasarnya, penulis sependapat dengan apa yang dinyatakan oleh Wakil Presiden tersebut. Kenyataannya, memang masih kebanyakan orang memandang bahwa sekolah adalah satu-satunya wahana untuk pendidikan. Sehingga, para orangtua memercayakan sepenuhnya perkembangan anaknya terhadap sekolah. Ketika muncul suatu permasalahan, sekolah menjadi sasaran yang disalahkan karena dianggap tidak bisa mendidik anaknya.
Padahal, apabila mengkalkulasikan waktu efektifitas di sekolah hanya menghabiskan waktu sekitar lima hingga enam jam, terkecuali sekolah fullday bisa mencapai sembilan jam. Dengan begitu, waktu yang tersisa bagi siswa kebanyakannya berada dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Tak adil, apabila menjadikan sekolah sebagai kambing hitam atas terjadinya kenakalan remaja, khususnya dalam aksi komplotan begal. Pasalnya, lingkungan yang lain pun turut serta memengaruhi perkembangan siswa.
Namun, bukan berarti sekolah juga harus mencuci tangan atas peristiwa yang sangat mengkhawatirkan ini. Alangkah bijaknya, apabila sekolah lebih merekatkan diri menjalin hubungan harmonis dengan para orangtua dan tokoh masyarakat. Saling memberikan informasi, bisa menjadi suatu alternatif untuk mencegah tumbuh kembangnya kenakalan remaja. Dalam hal ini, ketiga aspek pendidikan saling melakukan kerjasama untuk menyelamatkan generasi bangsa yang kian hari semakin mengkhawatirkan.
Apabila dianalisis, pernyataan dari Wakil Presiden tersebut berkenaan dengan aspek pendidikan. Sebenarnya sejalan dengan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Dimana, Ki Hajar Dewantara menyebutnya sebagai tripusat pendidikan. Pertama, lingkungan keluarga yang dipandang sebagai pendidikan yang pertama dan utama bagi seorang anak. alasannya, sebelum anak mengenal lingkungan yang lain. Terlebih dahulu, anak dibesarkan dan dikembangkan karakteristiknya dalam lingkungan keluarga oleh kedua orangtuanya.
Orangtua yang membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang, pasti akan terlihat berbeda dengan orangtua yang membesarkannya dengan kekerasan. Pasalnya, masa anak-anak disebut sebagai masa golden age (masa keemasan). Artinya, pada masa ini anak akan cepat menangkap apa yang diberikan oleh lingkungan sekitar. Tentunya, dengan cara memperhatikan apa yang mereka lihat dan mereka dengar, kemudian melakukan peniruan sebagai suatu kebenaran baginya.
Celakanya, apabila rangsangan yang mereka dapatkan berupa kekerasan di waktu kecil. Mereka, bisa tumbuh menjadi seseorang yang kasar dan susah diatur ketika menginjak remaja. Oleh karena itu, orangtua jangan merasa heran apabila mendapatkan anak yang menjadi kasar dan susah diatur ketika remaja. Akan tetapi, harus melakukan introfeksi diri tentang perilaku-perilaku yang telah ditularkan kepada anak mereka sewaktu masih berada dalam masa usia keemasan. Setelah itu, barulah melakukan pendekatan-pendekatan kepada anak sebagai upaya pencegahannya.
Disadari atau tidak, kenakalan remaja bisa terjadi akibat hubungan antara anak dan orangtua yang tidak harmonis. Apalagi, bagi anak-anak yang mengalami broken home dan luput dari perhatian kedua orangtuanya. Mereka akan mencari bentuk eksistensi diri, memperlihatkan bahwa mereka sebenarnya ada dan ingin mendapatkan perhatian. Sayangnya, hanya sedikit dari eksistensi diri mereka yang mengarah pada hal-hal positif, seperti menjadi siswa berprestasi di sekolah. Kebanyakannya, mengarah pada hal-hal negatif seperti kenakalan remaja yang saat ini menjadi buah bibir dari kalangan masyarakat dan media massa.
Kedua, lingkungan sekolah yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan formal. Dengan didasari oleh tanggung jawab formal kelembagaan, tanggung jawab keilmuan, dan tanggung jawab fungsional. Untuk memperlancarkan tanggung jawab sekolah tersebut, diperlukan guru yang berkualitas dan profesional. Guru yang mampu mendidik seluruh siswanya menjadi manusia yang memiliki akhlak mulia dan beriman, serta taqwa kepada Tuhan yang maha esa. Selain itu, guru juga harus piawai dalam mengajar untuk menjadikan seluruh siswanya memiliki kompetensi akademik (kognitif) sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masa kini.
Idealnya, dalam menjalankan tugasnya tersebut guru bertindak layaknya sebagai orangtua kedua bagi siswa setelah kedua orangtuanya. Mendidik dan mengajar, dengan rasa penuh kasih sayang dan kecintaan, serta memberikan perhatian secara menyeluruh terhadap siswa. tanpa membedakan anak cerdas maupun anak lamban belajar, anak orang kaya maupun miskin, dan anak pejabat maupun masyarakat biasa. Semuanya adalah sama, siswa yang perlu mendapatkan perhatian dan bimbingan secara intensif dari guru.
Ketiga, lingkungan masyarakat sebagai pendidikan di luar pendidikan keluarga dan sekolah. Lingkungan ini, bisa memberikan pengaruh yang bersifat positif maupun negatif terhadap perkembangan seseorang. Pengaruh positif, yaitu pengaruh yang mengarah pada kebaikan dirinya dan juga orang lain. Sementara pengaruh negatif, yaitu pengaruh yang mengarah pada hal-hal yang bisa merugikan dirinya dan juga orang lain. Dalam hal ini, memilih lingkungan bergaul bagi seseorang merupakan suatu keharusan. Bukan untuk membeda-bedakan teman dalam bergaul, melainkan menyelamatkan diri dari perilaku-perilaku yang tidak diinginkan. Apalagi, perilaku tersebut bisa membawanya berurusan dengan jalur hukum seperti kenakalan remaja dalam bentuk aksi komplotan begal.
Banyak hal lingkungan masyarakat yang bisa memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan seorang anak (pelajar). Lingkungan itu diantaranya, Jurnalistik pelajar, Ikatan Remaja Masjid (Ikrema), Pramuka, dll. Semuanya, bertujuan untuk menciptakan generasi bangsa agar bisa menemukan jati dirinya. Untuk saling menghargai antarsesama dan mengembangkan potensi kepribadianya.
Dengan terjalinnya hubungan harmonis dan saling memberi dukungan antara ketiga aspek pendidikan atau tripusat pendidikan tersebut. Diharapkan menjadi langkah awal untuk menyelamatkan generasi bangsa dari perilaku-perilaku yang tidak diinginkan. Sehingga, pada masa mendatang generasi bangsa Indonesia akan mampu membawa negeri tercinta ini menuju negeri yang dihormati dunia. Kemudian, menjadi kado terindah dalam peringatan seratus tahun Indonesia merdeka pada 2045 mendatang. Semoga...
Ket : Tulisan ini dimuat di Opini Galamedia, 9 Maret 2015
0 Comments
Post a Comment